Home GALERI Aksiden yang Menghantarkan Diri pada Lingkungan Hidup

Aksiden yang Menghantarkan Diri pada Lingkungan Hidup

218
0

Judul dari tulisan ini, agaknya, dibuat sangat cliche. Kesannya seperti sebuah kegiatan sehari-hari yang biasa, yang kemudian menuntun penulis kepada sebuah pemahaman mengenai lingkungan hidup. Filsafat memang menjadi makanan sehari-hari manusia secara sadar maupun tidak sadar, sampai penulis sendiri tidak sadar telah mendapatkan secercah pengetahuan mengenai filsafat yang disinkronasikan dengan lingkungan hidup, mungkin juga ini hasil dari perjalanan penulis yang terlalu lama bermain di pemikiran barat hingga akhirnya mendapat sebuah eureka dari peradaban daerah Timur dalam sejarah filsafat.

Taoisme-lah yang menuntun pembuatan tulisan ini. Dalam memberikan sebuah pengantar terhadap taoisme sendiri, mungkin akan lebih berguna jika dijelaskan dari pengertiannya dan implementasinya terhadap kehidupan sehari-hari. Taoisme, mudahnya, diartikan sebagai suatu aliran dalam sejarah filsafat timur yang menekankan hidup bahu-membahu dengan alam. Dalam taoisme, perilaku manusia harus selalu disandingkan dengan kodrat alam. Implementasi yang diberikan taoisme terhadap kehidupan manusia adalah pola hidup. Pola hidup manusia dalam taoisme harus dijalani dengan secukupnya, tidak kurang atau tidak lebih, jalani kehidupan sesuai kodratnya agar kita dapat selaras dengan alam atau memang mencapai tujuan untuk selaras dengan alam.

Berbicara mengenai alam terutama dalam pandangan filsafat, sebenarnya tidak lepas dari eco-philosophy, yang meliputi segala sistematika filsafat. Eco-philosophy yang diartikan sebagai filsafat ekologi atau environmental philosophy, melihat dan merefleksikan segala hal yang berhubungan dengan eksistensi manusia dan alam. Jika dilihat dari pengertian secara harafiah ini, mungkin bisa dikatakan pasti ada beberapa koherensi dengan taoisme, tetapi keduanya tidak bisa disamakan begitu saja. Dalam sejarahnya, taoisme hadir terlebih dahulu dan berkembang dalam sejarah filsafat timur, sedangkan eco-philosophy merupakan hasil dari beberapa pemikiran barat yang muncul jauh dari perkembangan taoisme. Taoisme hadir berkat suatu kebijaksanaan Lao Tzu dalam melihat masalah negara pada saat itu, dan eco-philosophy lahir karena permasalahan lingkungan yang terjadi.

Sembari membuat tulisan ini, penulis ditemani dengan ice matcha latte dari sebuah kafe yang disajikan dengan sedotan kertas. Dua jam berlalu, sedotan kertas tersebut mulai melebur dan tidak bisa menyedot minuman lagi. Kehadiran sedotan kertas menginisasikan gerakan ramah lingkungan pada dunia yang sudah terjebak dalam environmental crisis. Pertanyaanya: apakah taoisme dan eco-philosophy dapat memberikan sudut pandang terhadap kehadiran dari sedotan kertas tersebut?

Memulai dari pandangan eco-philosophy terhadap kehadiran sedotan kertas, ada baiknya jika kita mengetahui beberapa sifat dari eco-philosophy. Salah satu sifat eco-philosophy dalam buku: Living Philosophy, Eco-Philosophy as a Tree of Life, karya Henryk Skolimowski, adalah Life Orientation. Eco-philosophy secara singkat mencoba mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia, yang mungkin beberapa jenis filsafat lainnya tidak bisa memadai itu. Life orientation dalam eco-philosophy mencoba membuat manusia memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri. Tanggung jawab atas dirinya tersebut dapat berupa memakai sedotan kertas, yang konon katanya ramah terhadap lingkungan.

Taoisme di lain soal, yang menekankan kehidupan yang selaras dengan alam mungkin memandang penggunaan sedotan kertas sebagai bentuk upaya manusia untuk tidak merusak alam, terutama dalam penggunaan sedotan plastik. Taoisme memang tidak membicarakan mengenai penggunaan sedotan plastik, kehadiran taoisme saja jauh dari hadinya sedotan plastik. Namun, upaya manusia dalam hidu yang selaras dengan alam merupakan prinsip dari taoisme, yang mungkin dapat menyetujui gerakan ini.

Setelah mengetahui pandangan keduanya terhadap penggunaan sedotan kertas, apa daya filsafat jika tidak memberikan suatu paradoks terhadap pemikirannya sendiri. Mengapa saya sebagai penulis atau subjek dalam tulisan ini, tidak mengurangi kegiatan mengunjungi café sebagai bentuk implementasi dari taoisme dan eco-philosophy? Mungkin itu juga yang menjadi alasan penulis menganggap tulisan ini sebagai suatu hal yang ‘cliché’. Namun, implementasi eco-philosophy dalam kehidupan seheri-hari, layaknya perlu diterapkan, untuk mendapati hidup yang cukup dengan tetap menjalani kehidupan sehari-hari. (Celinę Tukan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here