Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD
Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores. Lahir di Waibalun, Larantuka, 16 November 1965. Mulai belajar filsafat dan teologi di STFK Ledalero, 1986. Tahun 1988 belajar lanjut di Universitas Wina, Austria dan meraih gelar magister teologi. Tahun 1993 ditahbiskan menjadi imam di Wina. Tahun 1996 belajar dalam bidang teologi di Albert Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman dan meraih gelar doktor tahun 2000. Sejak Mei 2001 menjadi staf pengajar pada STFK Ledalero. Menulis beberapa buku teologi dan filsafat.
————————————-
MEMILIKI dan merumuskan visi yang tajam dan transformatif tidak harus bertentangan dengan kuatnya ingatan akan masa lampau. Malah sebaliknya, kenangan akan sejarah, pengetahuan akan apa yang pernah diupayakan dan terjadi, merupakan landasan yang kokoh bagi perumusan visi. Dan kejelasan pandangan tentang sejarah dan ketajaman rumusan visi, pada gilirannya menjadi rahim yang melahirkan keberanian untuk mengambil langkah-langkah konkret perubahan demi perbaikan.
Sejarah, ingatan dan kenangan, kiranya ini merupakan satu kekuatan pribadi Mgr. Darius Wilhelmus Nggawa, SVD, Uskup (Emeritus) Keuskupan Larantuka. Sampai kematiannya pada tanggal 9 Januari yang lalu, ingatannya masih terpelihara sangat baik. Beberapa hari menjelang kematiannya dia masih sempat berkisah dibumbui humor tentang perjalanannya berkuda dari Pora, Nggela, tempat kelahirannya, menuju Ndona, Ende, untuk melanjutkan sekolahnya pada tahun 1939. Waktu itu kudanya tidak terlalu terbebani, karena Darius muda memang berbadan sangat kecil. Juga tentang kudanya yang selalu setia membawanya dari Kisol ke Borong (1956-1958), yang masih sempat datang ke kelas di Seminari Kisol dan seolah pamit dari tuannya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kuda ini pun pasti belum terlampau terbebani. Karena, Pater Darius masih seorang imam muda yang bertubuh ramping. Namun situasinya menjadi lain saat beliau harus berkuda misalnya dari Lewoleba ke Lerek, pada tahun 1979. Kali ini kudanya sudah harus terengah-engah, sebab pengendaranya adalah seorang uskup, dengan tubuh yang makin berbobot. Mgr. Darius menghafal semua stasi dalam wilayah keuskupannya, dan mengingat banyak nama dari mereka yang pernah digembalakannya.
Bukan cuma kisah-kisah yang dialaminya sendiri; yang diingatnya adalah juga kisah dan kejadian dalam sejarah dunia, nasional dan lokal, dalam sejarah gereja sejagad dan gereja setempat. Sebab, dia memang membuat studi khusus dalam bidang sejarah Asia Timur dan Tenggara pada Universitas St. Thomas di Manila, Philipina (1959-1964). Pada universitas yang sama dia mengajar Sejarah Politik dan Kebudayaan Asia Tenggara sebagai dosen luar biasa. Baginya sejarah bukan serpihan-serpihan kejadian tanpa makna. Sejarah mengandung kekuatan yang dahsyat, karena di sana ada dialektika antargagasan, antarkepentingan dan antarpengalaman.
Memahami sejarah secara demikian, orang tidak akan tenggelam dalam lautan detail sejarah. Orang tidak terobsesi pada sejarah, tetapi dapat mengambil jarak dan belajar dari sejarah. Belajar dari sejarah hanya mungkin apabila orang mau mendalami dan membaca sejarah. Dengan ini sejarah menjadi satu sumber inspirasi untuk membayangkan dan mengimpikan apa yang hendak diwujudkan di masa depan. Inilah yang menjadi kekuatan kedua dari pribadi Mgr. Darius Nggawa, memiliki dan merumuskan visi.
Dalam refleksi pada ujung masa kegembalaannya sebagai Uskup Larantuka, Mgr. Darius menulis tentang saat-saat pertamanya kehidupannya di kediaman uskup di San Dominggo sebagai hari-hari yang dipenuhi dengan studi dan membaca. Dia mengutip satu penggal rumusan dari buku The Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey, “Tak ada cara yang lebih baik untuk menginformasikan dan meluaskan pikiran secara teratur dibandingkan dengan masuk ke dalam kebiasaan membaca literatur-literatur yang baik. Itu adalah salah satu aktivitas yang berdaya ungkit tinggi. Dengan membaca, kita dapat masuk ke dalam pikiran terbaik yang sekarang atau yang pernah ada di dunia. Orang yang tidak membaca tidaklah lebih baik daripada orang yang tidak dapat membaca.” (Mgr. Darius Nggawa, SVD, “Menyingkap Jurus-jurus Penggembalaanku di Keuskupan Larantuka, Uskup Larantuka 1974-16 Juni-2004,” diedit oleh Rm. Yos Gowing Bataona, Pr, Larantuka: Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka, 2004, hlm. 35).
Orang yang berakar dalam sejarah dan sanggup belajar darinya, namun serentak mampu membebaskan diri dari belenggu sejarah untuk membayangkan apa yang mestinya menjadi cita-cita ideal, akan memiliki keberanian untuk membuat keputusan dan mengambil langkah konkret. Keberanian ini diperlukan, karena tidak mustahil orang diombang-ambingkan oleh berbagai gagasan dan anjuran. Ketajaman pikiran dan kepekaan perasaan dibutuhkan untuk dapat mengambil keputusan pada waktunya. Kiranya hal ini menjadi kekuatan ketiga dari kepribadian Mgr. Darius Nggawa. Dalam refleksi pada akhir masa tugasnya sebagai uskup dia mengutip ungkapan dari penyair besar berkebangsaan Jerman, Johan Wolfgang Goethe, yang mengatakan, “Apa pun yang dapat engkau lakukan atau impikan dapat engkau lakukan, lakukanlah itu. Keberanian itu punya kuasa keajaiban serta kejeniusan di dalamnya”.
Namun sebagaimana dikatakan Uskup Helder Camara dari Brasil, apabila hanya seorang yang bermimpi, impian itu tidak berdaya ubah secara luas. Tetapi ketika banyak orang bermimpi, impian itu menjadi satu kekuatan yang dahsyat. Sebab itu, hal yang sangat penting adalah memilih rekan kerja yang tepat, meyakinkan orang lain akan visi yang dirumuskan dan memupuk keberanian bersama untuk mewujudkannya. Hal ini hanya tercapai apabila orang-orang itu diperlakukan dan dihargai sebagai subyek yang dewasa. Mgr. Darius terinspirasi oleh Johan M. Maxwell yang berbicara tentang prinsip BEST (Believe in them, Encourge them, Share with them, Trust them). Dengan pola ini dia berusaha meyakinkan para rekan kerjanya.
Berbekalkan ketiga kekuatan pribadi di atas dan dibantu oleh para rekan kerja yang terbuka, Mgr. Darius mencanangkan apa yang disebutnya sebagai inspirasi dari Bukit San Dominggo. Dalam pertemuan dengan para petugas pastoral pada tanggal 10 September 1975 dia memperkenalkan arah baru dalam hidup menggereja. Arah baru ini didahului oleh sebuah analisis situasi kontemporer, baik atas situasi sosial budaya masyarakat maupun kondisi khusus gereja keuskupan. Dari analisis ini lahir keyakinan bahwa gereja harus berubah sikap. Dan salah satu mental yang mesti ditinggalkan gereja ialah apa yang disebut inward looking. Sikap hanya memandang diri sendiri, membanggakan kekayaan tradisi sendiri dan meratapi kekurangan dan kegagalan kelompok sendiri harus ditinggalkan. Gereja dituntut untuk terbuka terhadap agama-agama lain dan terhadap pemerintah. Mgr. Darius menulis “Komitmen Gereja ialah membuka diri dan membangun kerja sama dengan pemerintah dalam memajukan masyarakat. Namun Gereja juga harus berani bersuara ketika hak-hak asasi manusia dipasung dan martabat manusia dilecehkan atau diperkosa, baik oleh penguasa-penguasa tradisional maupun oleh para petinggi lainnya. Gereja tidak boleh terkooptasi dengan siapapun atau golongan manapun hanya karena suatu pertimbangan tertentu”. Tentu saja, keterbukaan yang kritis ini hanya dapat tumbuh dari keberakaran dalam keyakinan iman sendiri.
Untuk memperdalam iman dan menumbuhkan keterbukaan yang kritis tersebut, langkah yang dipilih adalah menghayati iman kristiani dalam komunitas-komunitas. Jauh sebelum Konferensi Waligereja Indonesia berbicara tentang umat basis, sudah pada paruh kedua dekade 70-an, umat Keuskupan Larantuka sudah memulainya. Untuk maksud ini, elemen yang sangat sentral adalah para pemimpin umat basis. Sebab itu, perhatian besar diberikan untuk memperluas wawasan dan melatih para pemimpin ini.
Keberakaran dan keterbukaan ini kemudian menyata dalam apa yang disebut sebagai Repelita. Istilahnya berbau Orde Baru. Maksudnya tidaklah lain daripada menetapkan program keuskupan sambil memperhatikan dan menempatkannya dalam dimensi waktu. Selama masa kepemimpinannya, dilaksanakan tiga Repelita. Repelita pertama (1980-1985) berkonsentrasi pada upaya membangun komunitas kultis. Ibadat dilihat sebagai pendalaman relasi dengan Tuhan yang menjadi dasar bagi relasi dengan sesama. Karena pentingnya ibadat, maka para pemimpin awam dilatih untuk memimpin ibadat. Maka ibadat tanpa imam bukanlah hal yang luar biasa dalam kehidupan umat di Keuskupan Larantuka. Repelita kedua (1987-1992) bertujuan membentuk komunitas iman yang berbela rasa dan saling melayani. Tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan alam merupakan tuntutan yang lahir dari keimanan. Repelita ketiga (1997-2004) memusatkan perhatian pada penghayatan kehidupan umat basis sebagai persekutuan iman, harap dan kasih yang menyata dalam seluruh aspek kehidupan.
Pentahapan yang tidak dirangkai begitu saja satu setelah yang lain menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah rencana. Pelaksanaan dan evaluasi atasnya menjadi dasar untuk menentukan apa dan kapan rencana berikut mesti disusun. Kualitas hidup dan pelayanan tidak ditentukan hanya dengan menghitung waktu, tetapi oleh kesanggupan belajar dari apa yang telah terjadi dalam waktu.
Berbagai kualitas iman dan keutamaan manusiawi telah menjadikan Mgr. Darius Nggawa seorang pemimpin. Dia memimpin Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret sebagai preses (1969-1972), sebagai pemimpin SVD Regio Ende (1972-1974) dan kemudian ditugaskan menjadi pemimpin Keuskupan Larantuka sebagai uskup sejak 16 Juni 1974 serta berbagai tugas lain baik dalam rangka KWI maupun dalam Federasi para Uskup Katolik Asia (FABC).
Bagi Mgr. Darius, kepemimpinan adalah sebuah seni. “Seni menggunakan jurus-jurus ampuh dan tepat sesuai situasi konkrit orang-orang yang dipimpin dan lingkungannya. Justru karena itu ia tidak boleh terpolakan dan terstruktur. Sebagai seni kepemimpinan harus memberi ruang gerak yang cukup luas kepada setiap pemimpin untuk mencari, menemukan dan menggelar jurus-jurus andalan yang tepat sasar bagi kelompoknya. Ketika ruang itu dipersempit dan kebebasan mencari jurus-jurus terpasung oleh struktur dan pola-pola baku, kepemimpinan menjadi kerdil dan mandul”. Dengan ini dia hendak mengatakan, dirinya bukanlah personifikasi pola kepemimpinan yang berlaku sah dan absolut di mana-mana dan kapan saja.
Selama orang terpaku pada sosok dan pola kepemimpinannya, entah dalam kekaguman yang berlebihan ataupun dalam sakit hati yang tak terobati, sebenarnya orang sedang menyia-nyiakan peluang untuk melakukan sesuatu yang besar. Ya, rasa sakit hati dapat sangat membelenggu. Dan belenggu selalu membuat orang kurang berkembang. Tentu saja sebagai pribadi dengan keutamaan manusia dan kualitas kepemimpinan yang besar, Mgr. Darius Nggawa dapat membuat orang terpesona dalam rasa kagum yang berlebihan. Namun juga sebagai manusia yang tak luput dari serba kekurangan, dengan kekritisan intelektual yang tajam, dengan tugas kepemimpinan yang berat, dia dapat saja menuntut terlalu banyak, membuat sejumlah orang sakit hati dan merasa tersinggung.
Mgr. Darius menunjukkan, baik obsesi pada rasa kagum maupun pembelengguan oleh rasa sakit hati dan ketersinggung yang berlarut, merupakan penghalang bagi berkembangannya potensi diri. Pembebasan dari obsesi dan belenggu ini hanya lahir dari kesediaan dan kemampuan untuk menghargai sejarah. Kalau orang tidak menghargai sejarah, orang tetap menjadi mangsa dari sejarah, dia terkurung oleh sejarah, menjadi kerdil oleh beban masa lalu. Pembebasan ini pulalah yang membuka ruang bagi visi yang jelas dan keberanian mengambil keputusan. Mgr. Darius adalah seorang sejarawan, yang tahu menghargai sejarah, seorang pemimpin yang visioner dan berani. Requiescat in pace. *
Sumber Tulisan : Pos Kupang, 12 januari 2008