Oleh : Dr. Paul Budi Kleden
—————————————-
Rabu, 30 Januari 2008
Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores. Lahir di Waibalun, Larantuka, 16 November 1965. Mulai belajar filsafat dan teologi di STFK Ledalero, 1986. Tahun 1988 belajar lanjut di Universitas Wina, Austria dan meraih gelar magister teologi. Tahun 1993 ditahbiskan menjadi imam di Wina. Tahun 2000 meraih gelar doktor dalam bidang teologi di Albert Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman. Sejak Mei 2001 menjadi staf pengajar pada STFK Ledalero. Menulis beberapa buku teologi dan filsafat.
—————————————–
SALAH satu ciri dasar manusia adalah kesanggupan bertransendensi. Dengan daya imaginasi, pikiran dan perasaannya, manusia mampu melampaui batas-batas yang sudah digariskan dan telah dipandang baku. Ikatan-ikatan tradisional dan alamiah dilampaui, manusia membuka bagi dirinya segudang kemungkinan baru. Peluang untuk bereksperimen terhampar di hadapannya. Apabila kemungkinan-kemungkinan baru itu ternyata lebih meningkatkan kualitas hidup, maka batas yang alamiah dan tradisional pun digeser. Batas-batas lama itu sebaliknya diperkuat, jika eksperimen manusia mengantarnya pada lebih banyak masalah. Kemajuan hanya tercapai karena kesanggupan bertransendensi. Ilmu pengetahuan dapat bertumbuh karena adanya daya bertransendensi, juga perkembangan peradaban manusia hanya dapat lahir dari rahim daya ini.
Religiositas, daya manusia untuk melampaui ruang dan waktu untuk bersentuhan dengan yang Tak Terbatas, yang Ilahi dan Kekal, adalah satu bentuk kesanggupan bertransendensi yang sudah sangat berperan sebagai satu daya ubah sejarah dan peradaban. Dalam keyakinan agama-agama, bakat religius atau daya trasendensi ini adalah akibat dari sentuhan Yang Kekal dan Ilahi itu sendiri. Manusia sanggup bertransendensi, karena Yang Transenden telah mendatanginya terlebih dahulu.
Misionaris Yosef Freidanemetz
Terdorong oleh keyakinan religius, banyak orang bersedia mengatasi berbagai ikatan primordial dan alamiahnya. Ikatan dan kewajiban keluarga direlativisasi untuk memenuhi sebuah panggilan religius. Ideologi negara dan kerangka budaya dilampaui ketika berbenturan dengan pandangan religius. Itu bukan berarti bahwa semua ikatan itu tidak penting dan tidak bernilai. Dalam kesanggupan bertransendensi itu ikatan-ikatan itu tidak dialami lagi sebagai yang membelenggu, dan batasan-batasan itu tidak lagi menjadi penjara.
Dorongan ini menjadi sangat nyata dalam agama-agama dunia. Selalu saja ada orang yang melintasi ikatan keluarga, melampaui batas wilayah dan budayanya, untuk bertemu dengan berbagai kelompok manusia demi sebuah panggilan keimanan. Panggilan keimanan itu tidaklah lain dari penerusan kesadaran dan pengalaman, bahwa setiap manusia dan seluruh dunia adalah ciptaan dari Yang Kekal dan Ilahi, dan karena itu mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil dan bertanggung jawab. Dalam tradisi kekristenan, mereka ini disebut dan dikenal sebagai misionaris.
Namun bukan mustahil, ketika melampaui berbagai batas itu, seorang misionaris justru membangun sebuah perangkap bagi dirinya sendiri. Agama yang diwartakannya menjadi sebuah ikatan primordial baru, yang mengurung dirinya dan orang lain dalam sebuah kesempitan. Ikatan keagamaan dapat menjadi sebuah belenggu yang tidak memerdekakan. Ketika inti transendensi religius diabaikan, maka agama-agama dunia justru melupakan dan meminggirkan manusia dan dunia, membiarkan dirinya menjadi kerangka pemikiran yang membenarkan penghancuran atas manusia lain dan eksploitasi penuh kerakusan atas alam. Pada saat seperti ini, agama-agama dunia mengingkari dirinya sebagai agama-agama dunia.
Mengatasi bahaya penyempitan doktrinal seperti ini, semangat transendensi mesti selalu diwartakan ke dalam agama-agama. Triumfalisme merupakan bahaya yang mengantar kepada idolatri atau pemberhalaan agama. Karena itu, peringatan sosok-sosok dalam sejarah agama-agama yang telah menunjukkan apa makna sebenarnya dari transendensi religius, dapat membantu membongkar penyempitan itu. Salah seorang tokoh seperti itu adalah Yosef Freidanemetz, salah satu dari dua misionaris perdana Serikat Sabda Allah (SVD) yang dikirim ke China.
Yosef dilahirkan pada tanggal 15 April 1852 di Abtei, Oies, sebuah kampung kecil yang dikitari gunung-gunung yang menjulang. Sekarang wilayah itu menjadi bagian dari negara Italia. Yosef bergabung dalam serikat misi SVD yang baru saja didirikan Arnold Janssen pada tahun 1875. Saat bergabung, Yosef sudah ditahbiskan sebagai seorang imam. Sudah lama dia memendam dalam dirinya semangat untuk melampaui batas primordial yang dikenalnya saat itu. Pada tahun 1879 dia diutus ke China. Tentang perpisahannya dari keluarga, Yosef kemudian menulis: “Saya tidak mau melukiskan adegan-adegan perpisahan di rumah orangtuaku. Tiap-tiap orang bisa membayangkannya. Jangan orang lupa bahwa misionaris juga manusia seperti tiap orang lain. Di dalam dadanya terdapat juga sebuah hati yang penuh rasa. Dia juga berpikir dan merasa sebagai manusia. Dia melihat ayah yang baik dan ibu tercinta yang penuh kelembutan, dan delapan saudara/inya yang diliputi dukacita dan menangis… Cukup! Saya meminta berkat dari ayah lalu saya memberi berkat imam kepada sanak keluarga. Pada altar (keluarga) kami mengukuhkan ikatan kami, lalu saya meninggalkan Abtei, desaku tercinta, barangkali untuk tak kan melihatnya kembali” (dikutip dalam buku “Hidup – Mati untuk China. Mengenang 100 Tahun Wafatnya Santo Yosef Freinademetz”, Maumere: Ledalero 2008, hlm. 4). Ikatan keluarga dikukuhkan, namun bukan untuk membelenggu, melainkan untuk mendukung sebuah pengembaraan seorang misionaris.
Dorongan untuk melampaui batas-batas primordial dari seorang misionaris dapat pula membantu orang lain untuk memperluas carkrawalanya sendiri dan melihat kebutuhan-kebutuhan lebih luas. Hal ini menjadi nyata misalnya dalam diri Uskup Brixen, Mgr. Gassner. Dia memang sangat membutuhkan imam muda Freinademetz yang penuh semangat dan dedikasi dalam pelayanan umat di keuskupannya di Italia. Namun dia juga sadar bahwa di tempat lain ada kebutuhan yang penting dan mendesak, yang harus ditanggapi. Sebab itu, menanggapi surat Arnold Janssen yang meminta restunya membiarkan Freinademetz bergabung dengan SVD, Uskup Gassner menulis: “Sebagai Uskup Brixen saya katakan: Tidak; tetapi sebagai uskup Katolik saya katakan ya. Nah, silakan mengambil puteraku Freinademetz, dan jadikan dia seorang misionaris sejati” (ibid., hlm. 8).
Freinademetz, dalam semangat zamannya, pergi ke China dalam satu semangat misi yang triumfalistis. Dia merasa membawa terang ke tengah kegelapan, dan ini dilihatnya sebagai legitimasi bagi penghargaan dan ketaatan orang-orang yang akan didatangnya. Tetapi justru yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki keyakinan yang mendalam akan kuasa ilahi, orang-orang yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Selama bertahun-tahun hidup di China, dalam melayani karya misi di China dengan berbagai peran, entah sebagai pastor paroki, sebagai pembesar serikat atau sebagai wakil uskup, dan terakhir sebagai perawat para penderita tipus, dia menjalani sebuah jalan panjang pertobatan batin.
Kerendahan hati di hadapan kebudayaan lain, masuk ke dalam pola pikir orang lain, dan dari dalam membantu transendensi sosial dan kultural dari masyarakat tersebut, inilah yang menjadi tugas seorang misionaris. Freinademetz sadar akan hal ini. Dia menulis, tugas pertama seorang misionaris adalah ‘mengadakan perubahan dalam batin: mempelajari pandangan hidup orang China, adat dan kebiasaannya, sifat dan bakat pembawaannya, dan ini bukan soal gampang yang dapat selesai dalam satu hari, tidak juga dalam satu tahun’.
Hanya dari kesediaan untuk mengatasi batasan kesempitan pandangan sendiri tentang orang lain, seorang misionaris dapat menemukan daya transformatif yang ada di dalam agama dan kebudayaan lain. Dalam kerangka berpikirnya, mungkin saja kebudayaan lain disebut sebagai yang tidak beriman, namun ada banyak kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang terbuka dan berdaya ubah. Freinademetz pernah mencatat: “Saya harus mengakui bahwa selama 23 tahun brada di China, saya tidak kehilangan sesuatu dari cinta saya terhadap orang-orang China. Sebagai satu bangsa yang tidak beriman (Kristen), mereka adalah dan tetap bangsa yang dibanggakan, yang tidak ada duanya di dunia, yang memiliki keistimewaan begitu banyak” (ibid., hlm. 12). Cinta dan penghargaan inilah yang sanggup membuat Freinademetz melakukan transendensi yang terus menerus, yang dapat mengubah pandangannya tentang orang lain dan melampaui penilaiannya mengenai budaya lain. Ini dilihatnya sebagai konsekuensi dari sentuhan Yang Transenden, yang tak bisa dan tak boleh dikurung atau dibelenggu dalam wadah agama manapun.
Pada tanggal 28 Januari 1908 Freinademetz meninggal karena terjangkit tipus yang diderita dari para pasien yang dirawatnya di Taikia. Dalam revolusi pada tahun 50-60-an, makamnya di Taikio dihancurkan, tulang-tulangnya dibakar dan abunya dihamburkan di tanah. Dia menyatu dengan masyarakat dan tanah China. Daya transendensi inilah terutama menjadi alasan keyakinan gereja untuk melihatnya dalam dirinya karya istimewa Tuhan sendiri. Sebab itu, pada tanggal 19 Oktober 1975 dia dibeatifikasi, dan pada tanggal 5 Oktober 2003 digelar sebagai orang kudus.
Bersama banyak orang lain dari berbagai agama lain, Freinademetz menjadi salah satu inspirasi bagi bangkitnya agama-agama di negara China yang secara resmi berideologi komunis. Ya, setelah rezim komunis mengambil alih kepemimpinan di China pada 1949, agama-agama mengalami mimpi buruk. Masa gelap ini dimulai dengan banyak aksi kekerasan negara, baik terhadap para misionaris, para biarawan/ti pribumi dan awam. Para misionaris dipaksa keluar dari China. Dari 300 lebih anggota SVD yang bekerja di China, pada tahun 1955 tinggal hanyalah 15 imam dan 19 bruder orang asli China.
Selanjutnya negara mengontrol secara ketat kehidupan beragama. Kelima agama resmi China (Buddhisme, Taoisme, Islam, Protestan dan Katolik) berada sepenuhnya di bawah awasan aparat negara. Untuk mendukung patriotisme dan komunisme, Gereja Katolik mesti dipisahkan dari Roma. Maka pada tahun 1957 dibentuklah Perkumpulan Patriotis Gereka Katolik China, atau Gereja Patriotis. Bagai makan buah si malakama, di bawah tekanan pemerintah, banyak orang Katolik tidak melihat adanya pilihan lain selain mengikuti regulasi negara demi mempertahankan imannya. Karena itu, menjadi anggota Gereja Patriotis bukanlah satu pilihan karena orang hendak memberontak terhadap Roma, melainkan satu keputusan yang lahir dari kesetiaan kepada iman Katolik di tengah himpitan kesulitan.
Represi pemerintah ternyata tidak dapat memadamkan daya transendensi manusia. Karena itu, kendati di bawah tekanan penmerintah, agama-agama berkembang pesat di China. Tak berlebihan ungkapan seorang sarjana China kepada seorang misionaris SVD: “Apa yang dibutuhkan oleh China sekarang adalah agama”. Di dalam agama orang menemukan kekuatan dan inspirasi untuk membangun masyarakat. Konsep tentang Allah dan manusia, pandangan tentang harkat dan hak-hak asasi manusia merupakan gagasan-gagasan yang dicari. Tidak sedikit warga menemukan jalan ke agama-agama, termasuk agama-agama Kristen. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang muda dan kaum cendekiawan.
Menurut perkiraan pada tahun 2005, jumlah orang Protestan sekitar 50 juta (ada yang menyebut 80 juta atau 5 persen dari jumlah penduduk seluruhnya). Sementara jumlah orang Katolik dewasa ini sekitar 13 juta manusia (sekitar 1 persen). Pada tahun 2005, tercatat 1800 imam dari gereja patriotis China, dan tidak kurang dari 1000 imam yang melayani gereja bawah tanah. Sebagian besarnya adalah orang-orang muda. Di seluruh China ada 19 seminari, masing-masingnya memiliki 10 sampai 20 calon yang masuk setiap tahun. Diperkirakan jumlah total calon imam sekitar seribu orang. Sekitar 3600 suster dari gereja patriotis, sementara dalam gereja bawah tanah berkarya 1200 orang suster.
Perkembangan di China menunjukkan bahwa keimanan merupakan daya transendensi manusia yang sanggup membuatnya melampaui ikatan-ikatan primordial. Memperhatikan situasi agama-agama di China dewasa ini, memperingati para misionaris yang pernah berkarya di China dapat merupakan momen yang penting untuk mengingatkan agama-agama agar terus mengawasi diri supaya tidak jatuh ke dalam bahaya penyembahan berhala. Agama yang sadar akan bahaya ini, tidak akan membiarkan diri menjadi kerangka untuk melegitimasi pembelengguan masyarakat secara politis dan sosial. Beriman berarti merelativisasi ikatan-ikatan primordial. *
Sumber Tulisan : Pos Kupang