Judul : Mata Sang Guru : Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD Dalam Kenangan (1943-2016)
Editor : Stefan Kelen,Pr
14x 21 cm, xxiv + 256 halaman
Cetakan Pertama ,April 2017
ISBN : 978-602-74885-4-0
Penerbit : TOLLELEGI
Bertemu dan berpisah, kelahiran dan kematian adalah hal yang biasa dalam hidup. Tapi untuk kepergian kembali ke Rumah Bapa di Surga selama-lamanya dari seorang yang dicintai, adalah perpisahan yang sulit dilupakan. Setiap kali nama orang yang dicintai itu muncul dalam ingatan, maka seluruh peristiwa selama yang bersangkutan masih hidup pun turut hadir. Sebaliknya, setiap menemukan tempat dan kejadian yang mirip dengan peristiwa yang terjadi di masa lampau, selalu saja nama dan kepribadian orang yang meninggal itu pun muncul melengkapi kenangan.
Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD telah kembali ke rumah Bapa di Surga , 29 April 2016, setelah 73 tahun menjalani usianya, 44 tahun hidup sebagai imam dan 29 tahun sebagai Uskup Keuskupan Pangkalpinang
Mgr. Hila demikian orang sering menyapa Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD bukan saja seorang uskup Katolik yang memimpin Keuskupan Pangkalpinang sejak tahun 1987 hingga 2016, melainkan juga seorang guru, sahabat, pembimbing rohani yang sangat dikagumi serta membekas dalam kenangan banyak orang. Kekaguman orang kepada Mgr. Hila lantaran dirinya selalu menampilkan sosok yang sederhana, sabar dan tak lelah membimbing siapa saja, bahkan menjadi tempat orang berkeluh kesah. Beliau adalah pribadi yang genuin, otentik dan relevan sehingga menjadi rujukan banyak pihak.
Dalam menahkodai Keuskupan Pangkalpinang yang sering dijuluki keuskupan seribu pulau, Mgr Hila diakui memiliki visi yang kuat dengan metode pendekatan yang tepat, sehingga tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan hasil. Bahkan beberapa tahun sebelum ia menutup mata, ia masih dapat menikmati hasil yang ia tanam.
Tahun 1987 Mgr. Hila memulai karya penggembalaannya sebagai uskup di Keuskupan Pangkalpinang. Saat itu, hampir 8 tahun keuskupan ini tidak memiliki seorang uskup. Arah kebijakan pastoral yang ditinggalkan Uskup sebelumnya mulai dirasa ketinggalan dengan perkembangan umat. Jumlah para imam pun sangat terbatas untuk melayani umat yang tersebar di berbagai pulau. Karya sosial di bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan nyaris jalan di tempat. Belum lagi sarana dan pra sarana penunjang tak beranjak dari apa yang ada.
Sejak kedatangan uskup Hila semua hal yang stagnan dan mati suri itu mulai digerakkan. Umat yang tidak pernah melihat uskup atau pun para imam, mulai bergairah dalam penyambutan-penyambutan kunjungan pastoral. Sarana dan prasarana dibangun, komisi-komisi kegerejaan digerakkan, begitu pun dengan pengembangan ekonomi umat, kesehatan dan pendidikan. Dalam hal kekurangan jumlah imam dilalui dengan mendatangi seminari-seminari di luar keuskupan Pangkalpinang, memberi perhatian khusus pada pendidikan calon imam di Pematang Siantar, hingga mendirikan seminari menengah di Keuskupan Pangkalpinang. Hasilnya sekarang dapat dinikmati dengan jumlah panggilan yang meningkat dan kehidupan iman yang semakin tertata.
Mgr. Hila adalah orang hebat. Itu harus diakui walau kehebatan itu selalu ia tepis dengan pembawaan yang sederhana dan memposisikan dirinya lebih sebagai pendengar. Kehidupan yang dilakoninya memiliki ciri khas khusus justru saat ia mampu menembus sekat-sekat penghalang hubungan antar manusia dan menjadikan setiap manusia yang dijumpai dalam satu keluarga agar setiapnya bisa mengambil bagian dalam memaknai kehidupan. Jarak yang terlampau dekat inilah yang membuat orang sulit memberikan julukan apa pun terhadapnya, kecuali menyimpan semua kekaguman itu dalam hati.
Siapa pun yang pernah bertemu, mengenal dan terlibat dalam karya-karya bersama Mgr. Hila, ataupun sekedar mendengar dan melihat dari kejauhan, pasti akan merasa beruntung memiliki seorang uskup, guru, pembimbing dan sahabat seperti Mgr. Hila. Beliau dan karya-karyanya telah menjadi pusat perhatian untuk sebuah inspirasi, meletakkan dasar-dasar yang kuat sekaligus menjadikan cakrawala baru buat siapa saja yang sedang melangkah ke masa depan. Siapa pun akan bangga memiliki seorang guru, bapa dan sahabat yang penuh dedikasi dan dengan mata nya mampu melihat potensi yang ada dalam diri muridnya dan umatnya. Dengan mata sang guru, ia dapat mengenal satu persatu orang, menemukan keunggulan dan kelemahan dari setiap orang, memberi motivasi dan membawa orang untuk menemukan dirinya sendiri.
Sebagaimana kelahiran dan kematian yang sering menjadi biasa dalam hidup, kepergian Mgr. Hila kembali ke Rumah Bapa di Surga pun adalah hal yang biasa. Namun teladan, sikap dan karya yang baik yang ditinggalkannya tidak mesti ditanggapi sebagai hal yang biasa, apalagi berlalu begitu saja. Bagaimana pun masih banyak orang yang sedang mengembara, menempuh jalan-jalan sunyi serta masih menapaki peziarahan di bumi ini. Semua itu tentu membutuhkan cerita, narasi dan inspirasi.
Buku ini tidak lain merupakan salah satu jawaban akan sebuah kebutuhan tentang cerita, narasi dan inspirasi karena dari awal diniatkan untuk menampung pikiran, perkataan dan tindakan Mgr. Hila selama mengembara di Bumi ini. Pada sisi yang lain, kehadiran buku ini juga merupakan bentuk penghormatan, dan penghargaan terhadap Mgr. Hila. Penghargaan yang pantas diberikan kepada seorang guru dan seorang uskup yang selama 29 tahun memimpin keuskupan Pangkalpinang.
Buku yang diberi judul “Mata Sang Guru: Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD Dalam Kenangan (1943-2016)” ini mengajak pembaca untuk melihat kembali pada jejak-jejak yang ditinggalkan Mgr. Hila. Apa saja yang pernah diperbuat dan digelutinya coba ditampilkan di buku ini. Tentu saja buku ini tidak sekadar menceritakan kronologis perjalanannya, tapi juga menempatkan beliau dalam konteks sejarah dirinya dan masyarakat, serta struktur sosial dan pengaruh lingkungan yang dimasukinya. Dengan begitu, apa yang dilalui dan diperbuat oleh Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD semasa hidupnya dapat menjadi pelajaran dan insipirasi bagi siapa saja terutama umat yang pernah mendapat pengembalaannya.
Penulisan buku ini pada gilirannya menceritakan juga sejarah masyarakat terutama yang berkenaan dengan umat penggembalaannya dan masyarakat tempat Mgr. Hila tinggal dalam waktu yang lama. Sebab, bagaimana pun sebutan keutamaan yang dimilikinya bukan semata sebagai akibat dari usaha pribadi, bakat, kekurangan dan kelebihan, kecerdasan, dan sejenisnya, namun juga akibat dari ciptaan sosial, yang mencerminkan kompleksnya kekuatan sosial yang khas dari waktu ke waktu. Demikian juga pikiran, pandangan dan tindakan sebagai uskup tidak lain dipengaruhi dari kehidupan masa lampaunya berhadapan dengan konteks umat yang dijumpainya.
Untuk memudahkan dalam menguraikan perjalanan hidup Mgr Hila, buku ini mengawali dengan memperkenalkan serba sedikit tentang “Siapakah Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD”. Bagian ini lebih banyak kami masukkan pandangan dan pengenalan para pihak tentang Mgr. Hila. Bagian kedua, mengulas asal usul keluarga termasuk kelahiran, masa kecil hingga menjalani masa pendidikan. Bagian ketiga, mengulas perjalanan hidup yang dilalui Pastor Hilarius Moa Nurak sebagai guru di dua seminari yakni Seminari Hokeng dan Seminari Mataloko, sebelum ditahbiskan menjadi uskup.
Berlanjut dari pengenalan akan sosok Mgr. Hilarius Moa Nurak SVD , pada bagian keempat perhatian kemudian tertuju kepada keuskupan Pangkalpinang tempat mana selama 29 tahun Mgr. Hila sebagai uskup menggembalakan umatnya. Hal yang tidak dilupakan adalah menjelaskan serba sedikit tentang sejarah Keuskupan Pangkalpinang dan karya-karya penting yang dilalui para pendahulunya.
Bagian kelima, mengulas tiga hal yang dipandang menjadi perhatian Mgr. Hila selama menjadi uskup Keuskupan Pangkalpinang. Tiga hal itu diantaranya Komunitas Basis Gerejani (KBG), Seminari dan Para Imam, dan Pluralitas dan Pesan Damai. Pada bagian keenam, diuraikan serba sedikit tentang kebiasaan harian yang dilalui Mgr. Hila. Bagian ketujuh, merupakan bagian terakhir yang menceritakan tentang hari-hari akhir Mgr. Hila dan bagaimana peristiwa pemakaman.
Beberapa bagian dalam buku ini, disertakan juga artikel pendamping. Artikel pendamping ini memang ditulis secara terpisah dan dalam kesempatan yang berbeda dengan penyusunan buku ini, namun dirasa sangat penting untuk disertakan dengan tujuan memperkaya pengenalan dan pemahaman akan tema yang diangkat di setiap bagian penulisan.
Dalam hal penulisan, beberapa kutipan pendapat banyak yang dikutip dari kesan dan pesan para pihak tentang Mgr. Hila yang pernah dipublikasikan dalam Majalah Berkat 004/Tahun XLIV Agustus 2012, saat mana Mgr. Hila merayakan 25 tahun menjadi uskup Pangkalpinang. Beberapa kesan tentang Mgr Hila juga dikutip dari buku “Mendayung Pompang di Hamparan Laut Biru”.
Dalam menguraikan tentang sejarah untuk beberapa tempat dan peristiwa ada tiga buku yang menjadi acuan utama kami yakni buku “Sejarah Gereja Katolik Indonesia Seri 3” terbitan Bagian Dokumentasi dan Penerangan KWI, “Indahnya Kaki Mereka : Telusur Jejak Kaki Para Misionaris Belanda” 1 dan 2 yang dieditor Pater John Dami Mukese dan Romo Eduard Jebarus. Sementara tentang pandangan Mgr. Hila banyak dirujuk pada buku “Sudah Kudaoakan Dikau”. Beberapa buku lain sebagai penunjang disertakan di bagian akhir daftar pustaka.
Dari penyebutan sumber-sumber buku yang menjadi rujukan, tentu saja hendak dikatakan bahwa buku ini bukanlah lahir dari karya seorang diri, melainkan suatu karya bersama termasuk bantuan dan keterlibatan dalam proses penerbitannya.
Cita-cita, harapan dan tindakan Mgr Hila tetap relevan untuk kita bicarakan. Apa yang sudah diperbuatnya akan selalu menjadi buku terbuka, sumur kehidupan tempat mana umat dan siapa saja menimbah dan menyambung cita-cita yang ditinggalkannya.