Filsuf Karl Raymund Popper (28 Juli 1902 – 17 September 1994) sungguh menginspirasi terkait dengan pengelolaan penerbitan tollelegi. Pemikiriannya kendati banyak ditentang, namun masih tetap relevan untuk perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, terutama penerbitan sebagai lembaga yang memproduksi ilmu pengetahuan.

Popper dalam seluruh perkembangan pemikirannya terutama yang lebih dikenal darinya yakni rasionalisme kritis, memungkin untuk selalu memeriksa kembali teks-teks yang sudah dianggap dominan. Tidak diuraikan di sini namun, kehadiran popper selalu dikaitkan dengan kelompok Wina, suatu kelompok yang disebut neopositivisme yang mengecam posotivisme yang terlalu dogmatis, dan indokrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutism.

Di bawah ini dituliskan beberapa segi menarik dari Popper yang kian menjadi inspirasi dari penerbitan Tollelegi.

1. Popper dan Buku

Tentu saja setiap ilmuwan atau intelektual adalah para pencita buku. Tapi yang khas dari Popper adalah keluarganya memiliki tradisi membaca buku yang baik. Ayahnya adalah seorang bibliofil yang memiliki 12.000–14.000 volume di perpustakaan pribadinya. Ayahnya tertarik pada filsafat, karya klasik, serta isu sosial dan politik. Popper mewarisi perpustakaan dan watak darinya. Kemudian, ia menggambarkan suasana masa kecilnya sebagai “sangat kutu buku”.

Di kebangkitan Nazisme ketika itu yang membawa ketakutan pada Popper, ia mulai menghabiskan waktu sore dan malam harinya untuk menulis buku. Buku pertamanya Die beiden Grundprobleme der Erkenntnistheorie ( Dua Masalah Fundamental Teori Pengetahuan ). Penerbitan buku ini pun bertujuan untuk mendapatkan posisi akademis di negara yang aman bagi orang-orang keturunan Yahudi. Pada akhirnya, ia tidak menerbitkan karya dua volume tersebut; tetapi sebaliknya, versi ringkas dengan beberapa materi baru, seperti Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah ) pada tahun 1934.

2.Keluarga Intelektual Tapi Realistis

Popper hidup dalam tradisi keluarga intelektual. Ayahnya, Simon Siegmund Carl Popper (1856-1932), adalah seorang pengacara dari Bohemia dan seorang doktor hukum di Universitas Vienna . Ibunya, Jenny Schiff (1864-1938), adalah seorang pianis berbakat keturunan Silesia dan Hungaria. Paman Popper adalah filsuf Austria Josef Popper-Lynkeus. Orang tuanya adalah teman dekat saudara perempuan Sigmund Freud , Rosa Graf.

Popper meninggalkan sekolah pada usia 16 tahun dan menghadiri kuliah matematika, fisika, filsafat, psikologi, dan sejarah musik sebagai mahasiswa tamu di Universitas Wina. Pada tahun 1919, Popper tertarik dengan Marxisme dan kemudian bergabung dengan Asosiasi Mahasiswa Sekolah Sosialis. Di kemudian hari di meninggalkan marxisme dan menjadi pendukung liberal.

Popper bekerja di konstruksi jalan untuk waktu yang singkat tetapi tidak mampu mengatasi pekerjaan berat. Terus menghadiri universitas sebagai mahasiswa tamu, ia memulai magang sebagai pembuat lemari, yang ia selesaikan sebagai pekerja harian. Ia bermimpi pada saat itu untuk memulai fasilitas penitipan anak untuk anak-anak, yang ia asumsikan kemampuan membuat furnitur mungkin berguna.

Setelah itu, ia melakukan layanan sukarela di salah satu klinik psikoanalis Alfred Adler untuk anak-anak. Pada tahun 1922, ia melakukan matura melalui pendidikan kesempatan kedua dan akhirnya bergabung dengan universitas sebagai mahasiswa biasa. Ia menyelesaikan ujiannya sebagai guru sekolah dasar pada tahun 1924 dan mulai bekerja di klub perawatan setelah sekolah untuk anak-anak yang terancam secara sosial. Pada tahun 1925, ia pergi ke Pädagogisches Institut yang baru didirikan dan terus belajar filsafat dan psikologi.

3. Persahabatan

Hal yang menarik dari Popper adalah persahabatan. Meskipun ada beberapa perselisihan mengenai masalah pengaruh, Popper memiliki persahabatan yang erat dan sudah lama dengan ekonom Friedrich Hayek , yang juga dibawa ke LSE dari Wina. Masing-masing menemukan dukungan dan kesamaan dalam karya yang lain, sering mengutip satu sama lain, meskipun tidak tanpa kualifikasi.

Dalam sebuah surat kepada Hayek pada tahun 1944, Popper menyatakan, “Saya pikir saya telah belajar lebih banyak dari Anda daripada dari pemikir lain yang masih hidup, kecuali mungkin Alfred Tarski .” Popper mendedikasikan Dugaan dan Sanggahannya untuk Hayek. Sementara itu, Hayek mendedikasikan kumpulan makalahnya, Studi dalam Filsafat, Politik, dan Ekonomi , untuk Popper, dan pada tahun 1982 mengatakan, “sejak Logik der Forschung pertama kali terbit pada tahun 1934, saya telah menjadi penganut penuh teori metodologi umumnya.”

Popper juga memiliki persahabatan yang panjang dan saling mempengaruhi dengan sejarawan seni Ernst Gombrich , ahli biologi Peter Medawar , dan ahli saraf John Carew Eccles . Ahli hukum Jerman Reinhold Zippelius menggunakan metode “coba-coba” Popper dalam filsafat hukumnya. Peter Medawar menyebutnya “filsuf sains terhebat yang pernah ada”.

4. Pemeriksa Teori yang Handal

Barangkali satu yang penting dikenal dari Popper adalah keseriusan memeriksa sebuah teori atau pandangan. Ia membuat perbedaan antaan ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan. Untuk bisa membedakannya, ia memeriksa secara detail. Keseriusan ini patut diapresiasi karena tidak banyak pihak menghadapi teks secara serius, apalagi sampai melakukan falsifikasi untuk menguji argumentasi.

Teori Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper. Ajakan kelompok Wina untuk memeriksa dari segi empris, logis berdasarkan penelitian, dihadapi Popper  dengan membuka kemungkinan kritik. Ia merujuk kepada David Hume dan Emanuel Kant.

Filsafat ilmu pengetahuan Popper berurat akar pada logika deduktif, hanya saja ciri khas aposteriori (berdasarkan pengamatan) ilmu alam tetap dipertahankan. Mungkin paling tepat dapat dikatakan bahwa anggapannya bercirikan rasionalis kritis, karena kenyataan yang diselidiki itu mau diucapkan dan dipahami dengan tujuan, akan tetapi secara asasi selalu criticizable, yaitu terbuka untuk dibuktikan salah.

Berkenaan dengan pendirian Popper masuk  bahwa dia selalu menekankan kesementaraan sebagai ciri khas pengetahuan ilmiah yang berdasarkan pengamatan. Namun demikian tidak masuk relativisme, karena menegaskan adanya pendekatan menuju kebenaran, yaitu dengan bertambahnya jumlah hipotesis yang telah disingkirkan setelah dibuktikan salah.

5. Falsifikasi

Falsifikasi sebagai sebuah sistem pengujian atas teori menunjukkan bahwa setiap proposisi ilmiah selalu memiliki kemungkinan untuk salah. Karena itu, secara lebih ekstrem, Popper mengatakan bahwa kemungkinan untuk salah adalah syarat yang harus dipenuhi oleh semua sistem teori.

Namun, kemungkinan untuk salah berbeda dengan teori falsifikasi. Teori falsifikasi adalah sebuah langkah metodologis yang dilakukan dengan cara deduktif untuk menguji sebuah teori. Sedangkan kemungkinan untuk salah merupakan sebuah kriteria dari semua teoriempiris. Popper memakai istilah “Korborasi” untuk menyatakan sebuah proposisi ilmiah telah lulus dari kritik.

Prinsip Falsifikasi adalah bahwa penerimaan terhadap sebuah hipotesis selalu bersifat sementara karena mesti ada langkah metodologis berikutnya untuk mengujinya. Semakin tahan uji atas kritik, semakin baik hipotesis tersebut. Karena itu, pengujian terhadap hipotesis mesti dilancarkan terus menerus.

Metodologi falsifikasi Popper membawanya pada permasalahan bukan sekedar merujuk pada otoritas. Permasalahan tersebut merupakan patokan utama dalam proses menilai kebenaran-kebenaran dan teori yang telah difikirkan sebelumnya (2014)

Namun, hal ini bukan berarti Popper menyangkal adanya kebenaran ilmiah. Popper tetap mengakui adanya kebenaran ilmiah tetapi kebenaran itu mesti terus diuji. Kebenaran ilmiah memang ada tetapi kita mesti terus menyangsikannya secara metodologis tanpa henti dengan mencari bukti untuk menyalahkannya. Teori falsifikasi dijadikan sebagai demarkasi antara ilmu dan yang bukan ilmu.

Pandangan Popper mengenai masalah demarkasi, ia mengemukakan asas falsifiabilitas. Bahwa kriteria keilmiahan sebuah teori adalah teori itu harus bisa disalahkan (falsifiability) atau sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya, bisa disangkal (refutability) dan bisa diuji (testability). Suatu temuan ilmiah bagi Popper, merupakan suatu solusi tentatif, bukan solusi final.

Dalam teorinya Popper menyatakan bahwa kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi), melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu itu sendiri (falsifikasi).

Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum- hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi.

Kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan- pandangan metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapanatau teori itu.

6. Dugaan dan Sanggahan

Kebesaran Popper sebagai seorang pemikir tidak hanya terletak pada rumusannya tentang prinsip falsifiabilitas, tetapi juga pada kekokohan pembelaannya terhadap prinsip tersebut dan ketelitian dalam mengolah implikasinya. Proses ‘dugaan dan sanggahan’ tidak hanya penting untuk penyelidikan ilmiah, tetapi juga berlangsung sepanjang sejarah evolusi, dapat ditemukan dalam aktivitas manusia apa pun, dan memiliki implikasi mendalam bagi kehidupan kolektif umat manusia.

Popper mengusulkan teori falsifiabilitasnya sebagai solusi untuk dua masalah yang sangat penting dalam filsafat Barat: Masalah induksi dan masalah demarkasi (antara sains dan metafisika). Masalah pertama dikaitkan khususnya dengan Hume, yang kedua – yang dianggap Popper lebih mendasar – dengan Kant.

7. Rasionalisme Kritis

Meskipun menggambarkan dirinya sebagai seorang rasionalis, Popper membedakan antara rasionalisme ‘tidak kritis’ atau ‘komprehensif’, dan rasionalisme ‘kritis’, dan menganjurkan jenis kedua. (Ia juga mengaitkan ‘pseudo-rasionalisme’ dengan Plato, dan menganggap ini yang paling berbahaya.)

Rasionalisme tidak kritis terdiri dari pandangan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat didukung oleh argumen atau pengalaman harus dibuang. Popper menganggap ini relatif tidak berbahaya, tetapi tetap tidak dapat dipertahankan karena gagal dalam pengujiannya sendiri.

Karena semua argumen harus berasal dari asumsi, jelas tidak mungkin untuk menuntut bahwa semua asumsi harus didasarkan pada argumen. Atau dijabarkan lebih lengkap: Sikap rasionalis dicirikan oleh pentingnya argumen dan pengalaman. Tetapi baik argumen logis maupun pengalaman tidak dapat membentuk sikap rasionalis; karena hanya mereka yang siap untuk mempertimbangkan argumen atau pengalaman, dan karena itu telah mengadopsi sikap ini, yang akan terkesan olehnya….

Rasionalisme kritis, di sisi lain, dengan bebas mengakui bahwa praanggapannya pada akhirnya tidak dapat dibuktikan. Pengadopsiannya merupakan hasil dari ‘keyakinan irasional terhadap akal’. Selain itu, keputusan untuk mengadopsinya bukanlah keputusan rasional, tetapi keputusan moral, yang didasarkan pada pertimbangan konsekuensi dari tindakan tersebut. Namun moralitas itu sendiri adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar rasional.

…meskipun tidak ada ‘dasar ilmiah rasional’ dari etika, ada dasar etika dari sains, dan rasionalisme.

8. Menolak dogmatism.

Popper tidak terlalu nyaman dengan hal-hal yang bersifat pemutlakan dan pemaksaan, terutama seperti pemaksaan dalam ideologi politik. Sudah jelas ia menentang teori yang bersifat dogmatis. Kecaman tertuju pada Plato, Hegel dan Marx.

Meskipun istilah ‘ideologi’ dapat digunakan secara netral untuk sekumpulan ide yang terkait dengan kolektif tertentu, ia telah memperoleh konotasi yang merendahkan dari penjelasan yang sederhana, diterima secara tidak kritis dan ditegaskan secara dogmatis.

Popper berpendapat bahwa tidak ada ide yang tidak boleh dikritik, karena hanya dengan menundukkan ide-ide pada kritik yang paling ketat yang memungkinkan, kita memiliki peluang untuk membasmi yang buruk dan mengidentifikasi yang layak dipertahankan.

Karena alasan ini, ia menganjurkan ‘masyarakat terbuka‘, yang ia maksudkan adalah masyarakat yang memiliki hambatan minimum terhadap aliran kritik, sehingga ideologi tidak dapat bertahan tanpa perlawanan. Dan ia menunjukkan, tentu saja dengan benar, bahwa masyarakat yang mendekati kondisi ‘terbuka’ ini merupakan pengecualian daripada aturan.

9. Soal Damartkasi

Popper menganggap bahwa kaum positivistik gagal membuat demarkasi antara ilmu pengetahuan dan metafisika. Kaum positivis hanya menyangkal metafisika sebagai yang tidak bermakna tanpa menjelaskan ciri ilmiah dari ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan dapat dibedakan dari metafisika. Karena itu, Popper mengusulkan tiga kriteria demarkasi.

Pertama, seluruh proposisi ilmiah dan ilmu pengetahuan harus bersifat sintesis. Artinya rumusan-rumusan ilmiah mesti berangkat dari kenyataan. Dengan demikian, Popper sebenarnya ingin membuat spesialisasi terhadap ilmu empiris sebagai ilmu yang menangani bidang khusus yaitu pengamatan terhadap fakta-fakta, memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta dan merumuskan pernyataan-pernyataan sintesis

Kedua, semua proposisi ilmiah tidak mesti bersifat metafisik. Dengan demikian, tampak jelas bahwa Popper sebenarnya sudah membuat distingsi yang jelas bagi semua jenis ilmu baik empiris maupun metafisika, logika dan matematika untuk menekuni dan berkutat pada metodenya masing-masing. Di sini, Popper dengan tegas mengusulkan bahwa positivisme sebaiknya tetap memfokuskan diri pada pengamatan atas fakta. Manusia tidak bisa sepenuhnya direduksi ke dalam fakta-fakta empiris. Karena itu, pergumulan tentang filsafat atau teologi misalnya menembusi seluruh batas-batas fakta yang dapat diamati dan memeriksa syarat-syarat rasional di baliknya

Ketiga, mesti diupayakan pengujian atas proposisi ilmiah. Karena itu, metode yang digunakan ialah metode deduksi. Metode deduksi berusaha membuat pengujian atas teori yang telah dirumuskan. Karena itu, seorang peneliti misalnya mesti pertama-tama merumuskan teori dan kemudian mencari fakta untuk menguji teori bersangkutan. Dengan kata lain, pengalaman dilihat sebagai “alat uji” untuk membenarkan dan atau menyalahkan sebuah proposisi ilmiah. Ini adalah ide utama Popper, dan ide yang menjadi sumber segala hal lain dalam filsafatnya.

9. Pandangan tentang Historisme 

Bagi Popper historisisme adalah filsafat sejarah yang diandalkan oleh banyak pandangan totaliter tentang masyarakat, seperti misalnya fasisme dan komunisme. Historisme berpendapat bahwa sejarah dan masyarakat berkembang dengan cara yang mutlak perlu, dan jika diketahui hukum yang menentukan sejarah, dapat diramalkan juga jalannya sejarah di masa mendatang.

Popper mengakui bahwa adanya perubahan dalam masyarakat tak dapat disangkal karena masyarakat dinamis. Dan tentu saja perubahan serupa itu sering kali berlangsung menurut tendensi tertentu. Tetapi kemiskinan historisisme menjadi nyata jika ia tidak melihat, bergantungnya tendensi pada keadaan-keadaan kongkret yang memadai pada suatu zaman.

Suatu perubahan dan juga tendensi vang tampak di dalamnya selalu bertumpu pada keadaan-keadaan yang terdapat pada waktu tertentu. Kalau keadaan-keadaan itu menjadi lain, maka tendensi bersangkutan akan berubah juga. Apalagi, di samping mengandaikan suatu tendensi yang mutlak perlu, historisisme beranggapan pula bahwa suatu tendensi dalam sejarah selalu harus dinilai positif. Orang yang tidak menernma tendensi itu harus dicap “ketinggalan zaman”. Hal-hal yang baru selalu merupakan yang terbaik. Ini merupakan suatu optimsme naif, yang menjadi biang keladi begitu banyak kekejaman dan ‘ penganiayaan yang berlangsung dalam sejarah manusia.

Kalau Popper menolak setiap bentuk pemerintahan yang totaliter, maka menurut dia bentuk macam apakah yang harus diwujudkan? Ia menjawab: the open society, masvarakat tetbuka. Dengan penuh keyakinan ia menjelaskan bahwa dari sudut logika dan ilmiah, tata negara yang paling cocok ialah masyarxkat terbuka atau demokrasi.

Usulkan pemecahan bagi problema-problema yang dihadapi, dan politik pemerintahan akan dijalankan dengan memanfaatkan kritik itu.

Bagi Popper pertanyaan yang paling penting di bidang filsafat politik bukanlah “siapa yang harus memerintah”. Memang pada waktu lampau banyak filsafat politik yang berkisar pada pertanyaan itu, yang telah diberikan bermacam-macam jawaban oleh orang yang paling bijaksana, orang yang paling baik, mayoritas, kaum proletar.

Popper melihat sebagai pertanyaan pokok dalam filsafat politik: “How can we minimize misrule?” (bagaimana kita dapat mengurangi terjadinya pemerintahan yang salah?), baik dalam arti mencegah timbulnya pemerintahan jelek di masa depan maupun dalam arti mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif dari pemerintahan jelek di masa sekarang.

Cara pemerintahan yang sempurna tidak pernah akan tercapai, kata Popper (yang dengan demikian menolak teori-teori utopistis tentang masyarakat sempurna di masa depan seperti misalnya marxisme). Yang harus diusahakan ialah sedapat mungkin mengoreksi dan menyingkirkan ketidaksempurnaan yang dialami dalam masyarakat.

Dalam konteks ini dapat dimengerti juga bahwa Popper menentang setiap pendekatan holistis di bidang politik dan sosial. Dengan pendekatan holistis dimaksudkannya suatu perubahan yang mau menangani sekaligus kehidupan politik sebagai keseluruhan, misalnya melalui jalan revolusi, karena revolusi yang dilancarkan oleh suatu kekuatan tertentu hakikatnya bersifat pemaksaan suatu kehendak politik yang belum tentu kebenarannya.

10. Teorinya tentang Tiga Dunia

Teorinya tentang Tiga Dunia dapat ditemukan dalam bukunya Objective Knowledge, yang diterbitkan pada tahun 1972, tetapi juga dalam sebuah konferensi yang diberikan di Universitas Michigan pada tahun 1978 dalam konteks The Tanner Lectures on Human Values. Inti dari teorinya adalah bahwa produk kognisi dan kreativitas manusia —yaitu, pengetahuan dan budaya— bersifat objektif , sejauh mereka dapat bertahan tanpa subjek yang mengetahui dan memiliki status ontologis yang independen. Objek-objek ini berbeda dari dunia fisik dan dunia subjektif.

Untuk memahami klaim tersebut, Popper memberikan gambaran umum tentang setiap dunia. “Dunia 1“ adalah dunia yang terdiri dari semua benda fisik: tumbuhan, hewan, bintang, dan batu, tetapi juga radiasi dan gravitasi. Dunia 1 menunjukkan semua entitas dalam dimensi fisik, kimia, dan biologisnya. Dunia 1 tidak boleh disamakan dengan benda-benda material, mengingat bahwa entitas seperti gaya tidak sepenuhnya bersifat material. Popper mengusulkan bahwa dunia pertama ini dapat dibagi lagi menjadi benda mati dan benda hidup.

Dunia 2, di sisi lain, mewakili dimensi mental dan psikologis. Dunia ini adalah dunia rasa sakit, kesenangan, pikiran, ide, ketakutan, dan harapan. Gigi kita adalah bagian dari Dunia 1, tetapi sakit gigi bersifat subjektif karena merupakan masalah pengalaman pribadi dan dengan demikian termasuk dalam Dunia 2. Menariknya, Popper tidak secara eksklusif merujuk pada kesadaran atau subjektivitas manusia. Pengalaman bawah sadar , seperti mimpi, adalah bagian dari Dunia 2; selain itu, kesadaran hewan terjadi di Dunia 2.

Sudah jelas bahwa Popper menjauhkan diri dari ide reduksionis yang menyatakan bahwa kondisi mental hanya dapat dijelaskan dalam konteks Dunia 1. Rasa takut dapat dijelaskan secara kimiawi, tetapi Popper mengklaim bahwa rasa takut merupakan sesuatu yang lebih, yaitu sebuah pengalaman.  Contoh yang berguna adalah otak dan pikiran. Bagi Popper, otak adalah bagian dari Dunia 1, tetapi pikiran adalah sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi komponen fisiknya. Para peneliti yang tertarik untuk memahami mimpi telah mengambil MRI (magnetic resonance imaging) dari orang-orang yang sedang tidur, dan mereka dapat mengamati segmen otak mana yang aktif. Namun, mereka harus bergantung pada laporan subjektif orang-orang untuk mengetahui apa yang mereka impikan (Walker, 2017, pt. III).

Terakhir, Karl Popper menyebut Dunia 3 sebagai “dunia isi pikiran yang objektif, khususnya pikiran ilmiah dan puitis serta karya seni” (1979, hlm. 106). Dunia 3 dibentuk oleh bahasa, cerita, mitos, dugaan ilmiah, proposisi matematika , lukisan, patung, dan simfoni (Popper, 1978, hlm. 144). Semua ini adalah produk pikiran, tetapi identik, bukan pikiran itu sendiri.

Popper menekankan keberadaan dunia 3 yang otonom. Sebuah teori ilmiah, misalnya, muncul karena dunia 2 membutuhkan beberapa kerangka kerja untuk interaksinya dengan dunia 1. Namun, setelah muncul, teori tersebut tidak bergantung pada kesadaran orang yang membuatnya, dan dapat dipahami serta dikritik secara intersubjektif. Jadi, dunia 3 adalah ciptaan manusia; tetapi diciptakan sebagai perkiraan terhadap dunia 1, yang merupakan kebenaran objektif yang harus diukur terhadap produk-produk dunia 3.

11. Seorang Realis 

Popper adalah seorang realis, dan menghindari subjektivisme epistemologis radikal Kant – misalnya, ia tidak menganggap waktu dan ruang sebagai sesuatu yang sepenuhnya bergantung pada subjek. Namun, ia tetap menganggap keberadaan Dunia 1 yang independen, meskipun nyata, tidak dapat diketahui secara langsung.

Salah satu alasannya, hal itu tentu saja dirasakan melalui perangkat indera yang kita miliki sejak lahir. Namun yang lebih penting untuk diskusi ini, ia mengatakan bahwa ‘Semua pengamatan diresapi oleh teori’.

Popper tidak setuju dengan kaum monis karena mereka menganggap ontologi datar di mana segala sesuatu dapat direduksi menjadi fisika dan kimia. Namun, ada jenis monisme lain di mana sifat-sifat yang muncul memiliki peran yang sangat penting. Pikiran adalah sifat yang muncul dari otak: hanya ketika komponen-komponen tertentu tersusun dengan cara tertentu, kita dapat mengatakan bahwa ada pikiran. Pikiran tidak dapat direduksi menjadi otak, tetapi tetap saja ia membutuhkannya untuk eksis.

Dengan usulannya, Popper menantang konsepsi monis dan dualis tentang realitas. Ia menyatakan dirinya sebagai seorang “pluralis” dan “realis tiga sisi” (1978, hlm. 148–151). Kaum monis percaya bahwa hanya ada satu dunia: bakteri dan simfoni merupakan bagian darinya. Jelaslah bahwa Popper tidak ingin menyamakan kedua fenomena ini. Di sisi lain, kaum dualis akan menerima keberadaan Dunia 2 Popper dan membela kesenjangan antara otak dan pikiran.

Pluralisme atau realisme tiga kali lipat Karl Popper mengakui keyakinan utama kaum monis dan dualis tetapi memperluasnya ke dunia artefak manusia (Dunia 3). Ia menulis: “Saya seorang realis mengenai dunia fisik 1 (…) Demikian pula, saya seorang realis mengenai dunia 2, dunia pengalaman. Dan saya seorang realis mengenai dunia 3 (…) seperti bahasa; dugaan atau teori ilmiah; dan karya seni.”(Popper, 1978, hlm. 51).

Ontologi sosial John Searle, misalnya, didasarkan pada gagasan bahwa artefak sosial (seperti uang) adalah produk dari sifat-sifat yang muncul dari pengaturan kolektif manusia (1996). Untuk menggunakan terminologi Popper, tidak ada apa pun tentang selembar kertas (Dunia 1) yang menjadikannya dolar AS. Namun, dolar bukanlah objek Dunia 3 —seperti yang ingin diyakini Popper— karena status selembar kertas itu adalah produk dari sifat-sifat yang muncul dan kesepakatan kolektif. Sejalan dengan hal ini, beberapa pihak telah mencoba untuk melengkapi pandangan Popper dengan filosofi John Searle (Gödert & Lepsky, 2019).

12. Menolak Esensialisme/Nominalisme

Fungsi kata-kata, dan hubungannya dengan realitas. Popper menyebut pendekatan ‘nominalis’ daripada pendekatan ‘esensialis’ terhadap bahasa. Maksudnya adalah bahwa sebuah kata adalah sebutan yang sewenang-wenang, yang penggunaannya hanya untuk kenyamanan.

Penggunaan bahasa seseorang harus bersifat instrumental, dan, meskipun tentu saja seseorang harus mencoba mengekspresikan dirinya dengan jelas, seseorang tidak boleh membiarkan kata-kata dan maknanya menjadi pengalih perhatian dari urusan yang lebih penting untuk memahami fenomena yang dilambangkan oleh kata-kata.

Meskipun dapat digambarkan sebagai ‘anti-esensialis’, Anti-esensialisme Popper terkait dengan fungsi definisi dalam pemikiran filosofis dan ilmiah. Singkatnya, ia berpikir sesedikit mungkin energi harus dihabiskan untuk hal tersebut.

Jangan pernah biarkan diri Anda terdorong untuk menganggap serius masalah tentang kata-kata dan maknanya. Yang harus ditanggapi dengan serius adalah pertanyaan tentang fakta, dan pernyataan tentang fakta: teori dan hipotesis; masalah yang dipecahkannya; dan masalah yang ditimbulkannya.

Di sini, seperti di tempat lain, orang melihat ikonoklas dalam dirinya, dan betapa radikalnya ia memutuskan hubungan dengan sebagian besar tradisi filsafat Barat. Ia berpikir bahwa filsafat Barat telah memiliki kebiasaan buruk memperlakukan definisi seolah-olah definisi tersebut menggambarkan hakikat sesuatu, yang menyebabkan obsesi berlebihan terhadap makna kata-kata. Kebiasaan itu dimulai oleh Aristoteles, dan terus mengganggu filsafat pada zamannya sendiri.

Perkembangan pemikiran sejak Aristoteles, dapat disimpulkan dengan mengatakan bahwa setiap disiplin ilmu, selama masih menggunakan metode definisi Aristoteles, tetap tertahan dalam keadaan kata-kata kosong dan skolastisisme tandus, dan bahwa tingkat di mana berbagai ilmu pengetahuan mampu membuat kemajuan bergantung pada tingkat di mana mereka mampu menyingkirkan metode esensialis ini.

Ia berpikir bahwa upaya untuk mencapai ketepatan dalam definisi adalah pengalihan perhatian, dan mengarah pada kemunduran tak terbatas – karena konsep yang digunakan dalam setiap definisi itu sendiri perlu didefinisikan, dan seterusnya.

Bagaimanapun, dalam sains, yang penting bukanlah ketepatan definisi, tetapi ketepatan pengukuran. Kata-kata hanya perlu didefinisikan secara memadai untuk tujuan tertentu. Saat kita fleksibel dalam penggunaan istilah, tetapi tepat dalam upaya pengukuran (dalam margin kesalahan yang diakui), dan ketat dalam penerapan pengujian, sains dapat berkembang.

Popper, yang selalu rasionalis, tidak punya banyak waktu untuk ini, dan lebih tertarik pada nominalisme sebagai metode untuk menguji pengetahuan teoritis. Pengetahuan teoritis selalu dan hanya merupakan perkiraan terhadap kebenaran.

Tidak ada pengetahuan murni yang terlepas dari praanggapan teoritis. Bukan hanya kita tidak dapat secara sah bernalar dari pengamatan khusus ke teori umum; kita juga tidak dapat membuat pengamatan yang bebas dari teori.

Di sini sekali lagi Popper menentang sebagian besar tradisi filsafat Barat, khususnya Plato dan Aristoteles. Ia tidak percaya, seperti mereka (dengan cara mereka yang berbeda), bahwa ada semacam pengetahuan murni dan rasional tentang esensi, yang dapat melayani kaum elit yang memiliki akses ke sana dengan dasar yang kuat untuk berfilsafat.

Ia berpikir bahwa semua persepsi dikemas dalam asumsi tentang cara kerja dunia, dan yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah membuat asumsi tersebut disadari, agar kita dapat mengkritiknya dengan lebih baik, dan memperbaikinya.

Kritik terhadap Popper

Ada beberapa penilaian tentang karya Popper akan diringkaskan, pertama-tama yang berasal dari dunia Popper sendiri, yaitu dari medan filsafat ilmu pengetahuan: kemudian pertentangan yang terjadi dalam bidang ilmu-ilmu sosial yang akan digambarkan sebagai berikut.

Kritik terhadap Popper yang berasal dari beberapa ahli filsafat ilmu pengetahuan berkisar pada anggapan bahwa Popper hampir hanya melihat ikhtisar logis yang terdapat dalam perkembangan ilmu pengetahuan: ikhtisar itu tidak mereka bantah, tetapi menurut mereka Popper kurang memperhatikan sejarah kongkret perkembangan itu yang sering kali kurang teratur daripada susunan logis yang diutamakan Popper.

Kritik itu dapat berturut-turut kita kaitkan pada nama tiga tokoh ahli filsafat ilmu pengetahuan yang akan dipaparkan di bawah ini.

Thomas Kuhn. Pada tahun 1962 dalam buku The Structure of Scientific Revolutions dengan memakai banyak bahan dari sejarah ilmu pengetahuan, anggapan Popper disanggahnya. Kuhn memperlihatkan bahwa sepanjang rangka sejarah itu pembaharuan-pembaharuan yang benar hanya terjadi beberapa kali saja, yaitu sewaktu anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis Kuhn, artinya “susunan dasar” ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan ilmu itu yang tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara keduanya.

Dalam rangka setiap paradigma itu terdapat “ilmu normal” (normal science), dan dalam rangka ilmu normal itu cara kerja Popper diterima Kuhn. Tetapi dalam masalah perpindahan dari paradigma yang satu kepada yang lain, maka dengan cara yang abstrak saja serta buat-buatan anggapan Popper dapat dipertahankan, jauh dari kenyataan yang historis itu. Demikianlah singkatnya kritik Kuhn yang dilakukan tanpa merusak prinsip dasar ajaran Popper.

Imre Lakatos ialah seorang sarjana ilmu pengetahuan yang lebih dekat dengan Popper daripada Kuhn. Searah dengan Kuhn,Lakatos pun berpendapat bahwa Popper terlalu melekat pada ikhtisar logis yang abstrak itu saja. Lakatos berusaha menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu alam merupakan suatu kompleks besar yang intinya scharusnya melawan segala usaha untuk membuktikan salah. Kompleks itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu bila yang baru masuk, maka yang lama sudah kalah), tetapi justru deretan teori-teori itu yang menurut Lakatos merupakan program riset (research-program) yang tidak boleh dipotong-potong secara fragmentaris.

Yang paling melawan segala usaha untuk menemukan suatu keteraturan dalam perkembangan ilmu pengetahuan ialah Paul Feyerabend. Secara khusus ia menuangkan dalam bukunya Against Method yang subjudulnya berbunyi: Outlineof An Anarchistic Theory of Knowledge, terbit pada tahun 1975. Feyerabend merasa bosan akan segala Jaw and order yang mau ditemukan para sarjana, khususnya Popper. Feyerabend berpendapat bahwa manusia dewasa ini terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu, dengan hanya berlandas pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. tahun 1957, buku Kemiskinan Historisme diberi dedikasi ”In memoriam jumlah tak terbilang manusia, pria dan wanita. dari semua keyakinan, bangsa, dan ras yang telah menjadi korban (lari kepercayaan fasistis dan yang berdalih komunitis tak ter. elakkannya hukum-hukum yang berdasarkan Suratan Nasib Historis. ”

Filsafat Kant selalu berada di latar belakang Popper, yang sering kali mengakui utang budinya kepadanya. Jangkauan pemikiran Kant dapat dilihat dalam tiga ‘Kritik’-nya. Yang pertama, dan mungkin yang paling penting, A Critique of Pure Reason, sebagian besar mencakup apa yang dijelaskan di atas sebagai ‘masalah demarkasi’, atau sifat, yurisdiksi, dan keterbatasan akal budi.

Yang kedua, A Critique of Practical Reason, membahas filsafat etika, dan yang ketiga, A Critique of Judgement, membahas estetika. Maksud Kant adalah untuk mengintegrasikan aspek-aspek realitas ini ke dalam satu filsafat tunggal, dan kecemerlangan upayanya itulah yang membuatnya bisa dibilang sebagai pemikir terhebat yang pernah dihasilkan Barat.

Popper juga mengagumi, dan tidak jarang merujuk, Schopenhauer, yang dengan sistem gagasannya sendiri memberikan kontribusi pada setiap bidang utama yang dicakup oleh Kant. Popper tidak memiliki pemikiran yang luas seperti ini. Fokusnya hampir selalu pada hakikat pengembangan pengetahuan manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, yang terkait dengan kontribusinya yang luar biasa. Namun, seolah-olah, berdiri di atas bahu para raksasa, ia menggunakan keuntungan ketinggian yang diperolehnya bukan untuk mengamati panorama, tetapi untuk memperoleh pandangan yang lebih jelas dari satu cakrawala yang jauh saja – cakrawala yang indah, tetapi bukan yang terindah.

Seseorang juga tidak dapat menghubungkan kekosongan ini dengan batasan yang diberlakukan oleh filsafat Popper sendiri. Tidak ada apa pun dalam sistem gagasannya yang mengingkari perspektif transendental – perspektif yang mencakup keberadaan realitas di luar indra dan pikiran rasional – dan faktanya, terkadang hal itu tersirat.

Tanggapannya terhadap para filsuf pada zamannya sendiri yang menangani masalah-masalah seperti itu, seperti Bergson, juga bisa sedikit sinis. Ini bukan berarti bahwa semua kepalsuan harus dibiarkan dianggap sebagai filsafat selama hal itu berada di bawah kedok mistisisme (seperti yang sayangnya, terlalu sering terjadi).

Namun, Seorang pemikir yang lebih hebat daripada Popper tidak akan merasa puas untuk membiarkan area-area kehidupan manusia yang sangat penting ini tidak diteliti hanya karena, karena berada di luar pikiran rasional, area-area tersebut sulit untuk dibicarakan tanpa terdengar tidak jelas.

Relevansi Popper

Ketelitian dan kejelasan yang Popper tunjukkan dalam menyampaikan poin-poinnya, tanpa mengabaikan satu hal pun dalam sanggahan terhadap kesalahan, sungguh luar biasa. Lebih khusus lagi, kontribusinya terhadap pemahaman metode ilmiah sangat signifikan.

Sains adalah salah satu elemen utama dari apa yang disebut Popper sebagai ‘situasi masalah’ di zaman kita. Bagi siapa pun yang melakukan pemahaman filosofis yang serius tentang dunia, pertanyaan tentang hakikat sains tidak dapat diabaikan.

Ada banyak kesalahpahaman populer tentang sains yang dapat dihilangkan dengan mengenal pemikiran Popper. Terlalu sering sains dipandang sebagai kumpulan pengetahuan yang tak tergoyahkan dan abadi, dan ilmuwan sebagai semacam kasta pendeta, yang bersatu dalam pemahaman mereka tentang pengetahuan yang misterius ini.

Kebenaran lebih menarik dan rumit. Sains bukan hanya kumpulan fakta, tetapi juga berbagai teori yang kurang lebih telah teruji dengan baik, tidak ada yang sakral, dan banyak di antaranya mungkin akan digantikan pada suatu waktu yang tidak diketahui.

Mungkin karena sejarah sains cenderung diceritakan melalui keberhasilannya, mudah untuk berasumsi bahwa ada akumulasi pemahaman yang stabil, setiap generasi menambahkan batu ke tumpukan batu yang sekarang menjulang tinggi dengan gagah.

Meskipun ini tidak sepenuhnya salah, bagian dari gambaran yang diabaikan adalah bahwa akumulasi pengetahuan tidak hanya melibatkan penerimaan sementara terhadap teori yang lulus ujian, tetapi juga penolakan terhadap teori yang gagal. Seperti yang dikatakan Popper, ‘Jalan sains diaspal dengan teori-teori yang dibuang yang dulunya dinyatakan terbukti dengan sendirinya.’

Bagi para ilmuwan sendiri, beberapa pengamatan mungkin berguna. Pertama, di luar tingkat dasar pendidikan ilmiah umum, sebagian besar berpengetahuan luas dalam bidang spesialisasi mereka. Ini berarti bahwa pada banyak topik mereka tidak akan memiliki keunggulan khusus atas kita semua ketika diminta untuk membuat penilaian.

Kedua, komunitas ilmiah sering kali jauh dari kata bersatu. Sering kali ada persaingan sengit di antara para penganut teori yang bersaing. Ketika kita diberi tahu bahwa ada konsensus di antara para ilmuwan dan karena itu tidak perlu lagi diperdebatkan, itu adalah tanda bahwa kita tidak lagi berada di ranah sains. Dan ketika kita melihat teori tertentu diperjuangkan tetapi tidak ditentang keras, ada alasan untuk curiga mengenai seberapa mapannya teori itu sebenarnya.

Popper memperingatkan kita, ‘Setiap kali sebuah teori tampak bagi Anda sebagai satu-satunya teori yang mungkin, anggaplah itu sebagai tanda bahwa Anda belum memahami teori tersebut maupun masalah yang ingin dipecahkannya.’

Ketiga, tidak semua ilmuwan diciptakan sama. Ada yang berkarier dengan menggunakan teknik sains, dan ada yang menganggap sains sebagai pencarian kebenaran – tanpa diragukan lagi ada banyak perbedaan.

Popper menawarkan kepada kita cita-cita yang menginspirasi tentang ilmuwan sebagai orang yang bersedia membuang prasangkanya sendiri dan memasuki hal yang tidak diketahui pada setiap kesempatan yang memungkinkan.

Namun kenyataannya adalah bahwa ilmuwan adalah manusia, dan tunduk pada kelemahan umum yang merupakan nasib spesies kita.

Tidak semua ilmuwan adalah tipe yang sangat dikagumi Popper; tidak semua dari mereka akan mengikuti metodenya: tidak semua dari mereka akan mencoba memalsukan teori mereka sendiri. Mereka akan tunduk pada ‘bias konfirmasi’, dalam mencari bukti yang menunjukkan prasangka mereka alih-alih menantangnya.

‘Jika objektivitas ilmiah didasarkan… pada ketidakberpihakan atau objektivitas ilmuwan individu, maka kita harus mengucapkan selamat tinggal padanya.’Inilah mengapa penting untuk mendorong persaingan antar teori – karena ilmuwan tidak selalu dapat diandalkan untuk memberikan koreksi diri yang diperlukan terhadap bias mereka sendiri.

Hal ini bukan untuk merendahkan panggilan mulia ilmuwan, tetapi untuk memperingatkan terhadap pemahaman yang terlalu sederhana tentang apa yang terkandung di dalamnya. Ketika ‘sains’ digunakan oleh politisi untuk membenarkan kebijakan dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka sendiri memiliki pemahaman yang terlalu mudah percaya tentang sains atau mereka mengandalkan publik untuk memilikinya, pengetahuan tentang Popper dapat menjadi hal yang membantu.

Penutup

Sebagai seorang tokoh filsafat, Popper akan tetap menjadi salah satu filsuf sains terhebat di abad lalu. Untuk memastikan hal ini, kita hanya perlu mengingat bahwa, misalnya, ia berdebat dengan Ludwig Wittgenstein pada tanggal 25 Oktober 1946. Ia juga menjadi salah satu antagonis utama filsafat Thomas Kuhn (Fuller, 2003). Ide-idenya akan layak dikaji ulang untuk waktu yang lama.  Pemikiran Popper bertujuan pada pemahaman teoritis yang efektif tentang dunia

 

Sumber :

Vidyaruchi,  Karl Popper: A Buddhist Response, https://apramada.org/articles/karl-popper-a-buddhist-response

Andres Felipe Barrero, MA Philosophy, MSc Philosophy, Ph.D. Candidate, What Are Karl Popper’s Three Worlds? https://www.thecollector.com/karl-popper-three-worlds/

Sumber :

Vidyaruchi,  Karl Popper: A Buddhist Response, https://apramada.org/articles/karl-popper-a-buddhist-response

Andres Felipe Barrero, MA Philosophy, MSc Philosophy, Ph.D. Candidate, What Are Karl Popper’s Three Worlds? https://www.thecollector.com/karl-popper-three-worlds/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here