Oleh : Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti

(Arikel ini merupakan tulisan pengantar buku Konflik Papua : Akar Masalah dan Konflik ; Penulis :  Paskalis Kossay, S.Pd. MM ; Editor : Benjamin Tukan & Hiron Hilapok; Penerbit Tollelegi, 2011)

Dalam khasanah studi Antropologi mengenai Papua dan Papua Niugini (PNG), penduduk pegunungan tengah di pulau yang menyerupai Burung Surga atau Burung Cenderawasih itu mengalami proses akulturasi dengan  orang luar lebih lambat dibandingkan dengan penduduk pesisir pantai. Sebagian besar “Orang Gunung” di pulau New Guinea mengalami peradaban modern, seperti dibahas dalam buku The First Contact yang terbit di Australia, kurang dari 100 tahun lalu. Pertemuan penduduk asli pegunungan dengan orang luar, khususnya para penyebar agama Kristen dan Katolik, terjadi sekitar tahun 1930an.

Sejalan dengan perkembangan waktu, orang-orang gunung yang di masa lalu dipandang dengan sebelah mata oleh saudara-saudara Papua atau Melanesia mereka dari daerah pesisir, secara lambat tapi pasti berupaya keras untuk maju dan menunjukkan kapasitas mereka sebagai manusia-manusia modern yang memiliki kesederajatan dengan mereka yang lebih dulu maju. Walau harus berjalan kaki melalui hutan-hutan yang masih perawan, semangat untuk sekolah begitu membara di hati anak-anak pegunungan tengah. Banyak pula di antara mereka yang tinggal di asrama yang didirikan di sekitar sekolah yang didirikan dan dibina oleh para misionaris asing, sebelum guru-guru dari Kei atau Tana Toraja menggantikan para misionaris asing tersebut. Banyak dari orang gunung yang kemudian sekolah dan kuliah di luar tanah leluhurnya seperti ke Manokwari, Jayapura, Makassar, Manado atau bahkan ke kota-kota di tanah Jawa yang memiliki universitas-universitas ternama di tanah air.

Paskalis Kossay, anak suku Hubula dari kampung Elagaima, Lembah Baliem, Papua, Indonesia, adalah contoh dari anak-anak pegunungan yang berjuang untuk maju. Anak suku pedalaman ini kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih di Abepura, mengambil jurusan geografi. Kemudian ia merantau ke Makassar untuk menempuh program pasca sarjana di bidang manajemen di Universitas Hasanuddin. Paskalis adalah satu dari sedikit putera asli Papua yang mengikuti kursus di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta. Tidaklah mengherankan jika jiwa nasionalisme Indonesia begitu kuat tertanam dalam dirinya.

Bila kita bagi tokoh-tokoh atau pemuda Papua dalam tiga tipologi—nasionalis Papua, nasionalis Indonesia, dan yang abu-abu—Paskalis tanpa ragu dapat dikategorikan masuk dalam kategori nasionalis Indonesia. Memang ia tentunya memiliki kesadaran etnik sebagai putera Papua dari daerah pegunungan, namun tetap merupakan orang Indonesia sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Paskalis tentunya juga memiliki hati yang begitu pedih bagai diiris sembilu melihat masih adanya kekejaman aparat negara terhadap anak-anak Papua. Perasaan yang sama juga dimiliki oleh saya sebagai orang Indonesia keturunan Jawa yang memandang anak-anak Papua adalah sah anak-anak kandung  Indonesia yang tidak boleh dilanggar hak-hak asasinya. Namun, Paskalis, selain mengurai akar masalah konflik Papua, ia juga berupaya menemukan solusi atas berbagai masalah yang ada di Papua, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Telah banyak buku yang saya baca soal Papua yang ditulis oleh orang-orang Papua, ada yang berapi-api menyuarakan kemerdekaan Papua, ada yang datar, ada yang membicarakan ketokohan sang penulis, ada pula yang memadu antara pendekatan akademis dan nurani insani. Buku Paskalis Kossay ini dapat dikategorikan perpaduan antara pendekatan akademik, historis dan nurani insani.

Berbeda dengan buku-buku lainnya, buku Paskalis ini termasuk yang cukup komprehensif. Ia memulai buku ini dengan penggambaran konflik dari masa ke masa dan diakhiri dengan solusi apa yang harus ditemukan dan diimplementasikan.

Tidaklah mengherankan bila kata pengantar buku ini saya beri judul “Menemukan Akar Masalah dan Solusi atas Konflik Papua: Supenkah?” “Supen” adalah bahasa gaul di Papua yang artinya Su(dah) Pen(ting) dan perlu diberi akhiran “kah” karena bersifat tanda tanya. Jika mencari akar masalah dan solusi atas konflik di Papua menjadi amat penting, tak ada kata lain jika pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh rakyat Papua perlu duduk bersama untuk berdialog dari hati ke hati.

Sebelum berdialog, rakyat Papua tentunya harus memilih siapa yang akan menjadi juru bicara mereka, tentunya bukan orang Papua yang sudah lama tinggal di luar negeri, karena mereka tidak mengetahui secara pasti bagaimana kondisi Papua saat ini. Mereka juga harus sudah memiliki agenda dan alternatif tuntutan yang dibawa kepada pemerintah Indonesia, jika tawaran dari pemerintah bukanlah kemerdekaan Papua. Dari pihak pemerintah Indonesia, harus perlu disiapkan tawaran-tawaran konkret yang bukan sekedar otonomi khusus, tetapi juga bagaimana mensejajarkan posisi orang- orang Papua sebagai anak kandung republik.

Perdamaian Papua

Sebagai orang Indonesia yang pernah mengalami masa kanak-kanak di Biak dan menulis skripsi dan thesis doctor mengenai perbatasan Indonesia Papua Niugini, saya mengibaratkan indahnya perdamaian di tanah Papua seperti kita memandang indahnya burung Garuda, Maleo, Manguni, Mambruk dan Cenderawasih.

Garuda atau di India disebut Garud, dalam epos Ramayana adalah burung yang digunakan Rama dan dianggap burung Dewa. Garuda kemudian menjadi lambang negara Indonesia pasca kemerdekaan yang di lehernya terbentang Pancasila beserta lambang lima sila-nya.

Maleo, adalah burung endemik di Sulawesi Utara yang memiliki nama ilmiah Macrocephalon karena kepalanya besar. Burung cantik yang hampir punah ini masih dapat kita lihat di cagar alam Panua, Kabupaten Pahuwato, Sulawesi. Burung yang indah ini, entah mengapa, di tanah Papua menjadi sinonim dengan unit pasukan elite Komando Pasukan Khusus TNI-AD atau Kopassus yang dulu juga dikenal sebagai Resimen Para Komando Angkatan Darat – RPKAD dan Komando Pasukan Sandi Yudha-Kopasandha. Kata Maleo sempat pula dipopulerkan dalam film “Denias, Senandung di atas Awan” produksi Alenia Pictures (karya pasangan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen).  Film Denias mengisahkan seorang anak Papua yang berkawan dan berguru kepada seorang anggota Kopassus yang ia sebut “Maleo.” Denias adalah anak Papua yang sukses dalam studinya sampai ke negeri Kanguru, Australia, namun hingga kini kehilangan sahabat Kopassusnya itu.

Manguni atau disebut juga Mauni, adalah burung yang secara fisik mirip dengan burung hantu. Dalam mitologi Minahasa, burung Manguni ditugaskan oleh Opo Mpung Wangko untuk mengamati sekitar dan selalu memberi petunjuk kepada bangsa Minahasa. Burung ini dianggap burung suci oleh orang Minahasa. Dalam kaitannya dengan Papua, ada seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia asal Minahasa, Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang pernah dibuang oleh Belanda ke Pulau Yapen yang kemudian menjadi tokoh yang merangkul warga Serui, Yapen, agar menyatu padu dengan saudara-saudara Indonesia lainnya.  George Aditjondro pernah menyebut Dr. G.S.S.J. Ratulangie sebagai “Burung Manguni yang merindukan deburan Ombak Samudera Pasifik.” Ratulangie adalah seorang visioner yang sudah melihat bagaimana masa depan Indonesia di kawasan Pasifik.

Mambruk adalah sejenis burung berbulu dan bermahkota Indah yang hidup di hutan-hutan dataran rendah Papua, khususnya daerah sekitar  Biak, Yapen dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Burung Mambruk Victoria, kadang disebut Goura Victoria, berbulu biru keabu-abuan dengan mahkota berwarna biru dan bintik-bintik putih. Burung Mambruk pernah menjadi lambang dari Papua Merdeka seperti yang dicetuskan oleh beberapa anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) pada 1 Desember 1961. Lambang Burung Mambruk ini, entah mengapa, amat diharamkan oleh para intel dan pejabat di Jakarta.

Burung Cenderawasih, bahasa ilmiahnya Paradisaeidae, lebih dikenal dengan Bird of Paradise (Burung Surga) adalah burung yang amat indah yang bisa ditemukan di wilayah bagian timur Papua, Papua Nugini (PNG) dan Australia Timur. Warna dan jenisnya beragam, namun yang paling dikenal adalah yang bulunya berwarna campuran antara hitam, coklat, kuning dan putih. Cendrawasih adalah burung yang menjadi lambang di Papua dan Papua Nugini.

Masih banyak jenis burung lain yang dikenal dan ada di tanah Papua, dari burung Kasuari (sejenis burung Onta) berkaki kuat, sampai ke burung nuri kepala merah atau kepala hitam, burung kakak tua putih dan kakak tua hijau yang semuanya indah. Kakak Tua Putih, Beo Hijau dan Nuri Kepala Hitam adalah burung-burung cerdas yang mudah diajari bicara. Bila semua burung itu kita lihat di alam bebas atau di taman satwa, ini menunjukkan betapa keberagaman itu memberikan keindahan.

Keindahan dan Konflik

Bila satwa alam itu memberikan keindahan, mengapa keberagaman manusia Indonesia yang memiliki motto “Bhinneka Tunggal Ika” justru menjadi penyebab konflik di antara sesama anak-anak bangsa, termasuk di tanah Papua?

Pemilik kekuasaan di Jakarta yang seakan menjadi pemilik interpretasi tunggal Burung Garuda dan didukung oleh Burung Maleo yang kepalanya besar (bukan besar kepala), hingga kini masih mencurigai mereka-mereka yang memegang lambang Burung Mambruk dan Burung Cenderawasih. Burung Manguni yang dulu sering memberikan peringatan mengenai situasi keamanan lingkungan di Papua, dan diterima oleh pemegang lambang Burung Mambruk dan Cendrawasih dengan hati yang lapang, kini seakan membisu.

Mengapa Papua hingga kini tetap bergolak, walau meretas jalan menuju Papua yang damai telah berkali-kali diwacanakan dan diterapkan? Mengapa para penguasa, aparat pertahanan dan keamanan dan aparat intelijen di Jakarta masih saja curiga kepada manusia Papua yang notabene adalah warga negara Indonesia? Mengapa pula penguasa di Jakarta lebih memilih untuk menjadi “Komprador atau Kaki Tangan Kepentingan Asing” ketimbang sebagai “Pembela Kepentingan Anak-anak Bangsa” di Papua? Apakah burung Maleo dan Intelijens menilai bahwa Papua adalah satu-satunya wilayah Indonesia yang masih dapat dijadikan tempat latihan tempur dalam arti yang sebenarnya? Mengapa anak-anak Papua yang berteriak Merdeka selalu dihadapi dengan ujung bayonet atau tembakan timah panas atau juga pembunuhan yang keji?

Kita tahu, rentetan kekerasan di Tanah Papua dalam dua bulan terakhir ini telah menjadikan Papua seakan menjadi daerah konflik yang panas. Papua yang kaya sejak dulu telah menjadi, meminjam Manuel Kaisiepo, “Pasar Kekerasan” (Kompas, 29/10/2011).

Orang sering menginterpretasikan penembakan terhadap buruh-buruh di Freeport yang menuntut kenaikan upah, terbunuhnya  Kapolsek Mulia (Kabupaten Puncak Jaya) Ajun Komisaris Polisi Dominggus Octavianus Awes, penembakan ke Posko Brimob di Puncak Jaya dan perlakuan kasar aparat terhadap peserta Kongres Rakyat Papua III di Abepura adalah suatu rentetan kejadian yang saling terkait.  Semua kejadian itu secara kebetulan terjadi secara berentetan. Kalau pun kekerasan di Papua itu adalah sebuah rekayasa, sulit untuk mengatakan bahwa itu dilakukan oleh orang-orang OPM (Organisasi Papua Merdeka). Para pelaku dari penembakan atau pembunuhan itu selalu disebut dengan istilah “orang/kelompok bersenjata tidak dikenal.”

Bisa saja kelompok OPM berupaya mengail di air keruh, tapi jika melihat kejadian di Bandara Mulia, sangat tidak mungkin dua orang OPM melakukan pembunuhan terhadap seorang Kapolsek secara terang-terangan di muka umum, di bandara yang banyak polisinya. OPM biasanya melakukan penyerangan secara berkelompok dan bukan perorangan atau berdua. Jika benar polisi setempat sudah mengetahui siapa sesungguhnya pembunuh Kapolsek Mulia, mengapa tidak diungkap saja secara transparan agar tidak menimbulkan dugaan yang buruk?

Kita juga menyayangkan mengapa penanganan terhadap para peserta Kongres Rakyat Papua III begitu kasar dan pembunuhannya begitu keji. Jika tiga orang yang mati itu berada di belakang kantor Korem yang berseberangan dengan lapangan bola Zakheus di Abepura itu, kita patut bertanya, siapa pembunuh mereka? Mengapa sampai ada dua korban yang dicongkel matanya dan seorang lagi disiksa begitu keji dengan benda tajam dari anus sampai ke badan?

Jika aparat keamanan sudah mengetahui sedari awal bahwa Kongres akan berakhir dengan pernyataan politik merdeka, mengapa kongres tersebut tidak dihentikan sejak awal oleh polisi? Mengapa pula penyerangan baru dilakukan dua jam setelah kongres usai? Kita bertanya, mengapa masih ada orang atau kelompok yang tega ingin membakar Papua melalui pembunuhan yang keji terhadap orang Papua. Jika itu dilakukan oleh aparat keamanan negara, mengapa itu terjadi? Apakah mereka berharap agar Papua membara sehingga penambahan pasukan atau logistik menjadi sesuatu yang mereka dambakan? Tak heran bila Manuel Kaisiepo menyatakan bahwa Papua masih menjadi “Pasar Kekerasan!” Mereka lupa bahwa orang Papua dalam 10 tahun terakhir ini adalah manusia yang amat sabar dan tidak mau melakukan serangan balik atau balas dendam. Segala yang mereka perjuangkan dilakukan secara damai. Tengok misalnya betapa kerusuhan besar tidak terjadi setelah  Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay dibunuh pada dini hari 11 November 2001, setelah ia menghadiri perayaan Hari Pahlawan yang diselenggarakan Kopassus pada malam 10 November 2001.

Kebijakan yang tidak Konsisten

Kebijakan pemerintah Pusat soal Papua benar-benar sangat tidak konsisten. Tengok misalnya penerapan UU no.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang sangat tidak konsisten. Agus Sumule dalam tulisannya berjudul “Niat Luhur Yang Bisa Berujung Malapetaka” mengungkapkan betapa banyak hal-hal yang tidak konsisten yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, hanya kurang dari dua tahun setelah UU Otsus berlaku, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Inpres No.1/2003 mengenai pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Kedua, mengapa mesti ada perbedaan antara syarat untuk menjadi calon gubernur dan calon anggota Majelis Rakyat Papua? Calon Gubernur Papua tidak boleh pernah ditahan, kecuali karena aktivitas politiknya. Ini berarti mereka yang pernah berseberangan dengan negara boleh jadi gubernur Papua. Mengapa klausul untuk calon anggota MRP malah tidak boleh pernah aktif berpolitik melawan negara?

Ketiga, pemerintah Pusat tidak pernah melakukan evaluasi atas pelaksanaan Otsus di Papua sejak 2002. Tapi mengapa pula Presiden SBY mengeluarkan Inpres No. 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat yang menafikan kekhususan Papua? Inpres itu kini diperbaharui menjadi Perpres Nomor 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat dan Perpres No. 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat. Esensinya tetap sama, bukan mendukung pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melainkan mengambil alih otoritas pemerintah di Papua! ini berarti kita kembali ke gaya lama yang menjadikan orang-orang Papua sebagai penonton pembangunan dan bukan pemilik dari pembangunan itu sendiri.

Orang banyak mengatakan dana otsus yang digelontorkan pemerintah pusat ke Papua sangat besar, tapi mari kita lihat kenyataannya. Antara 2000-2009 pemerintah pusat menerima uang sebesar AS$7.996.392.017 dari Freeport. Pada kurun waktu yang sama, pemerintah hanya memberikan hampir Rp 20 Triliun kepada Papua. Kalau antara 2002-2011 dana otsus hampir mencapai Rp30 Triliun, angka itu tidak besar untuk Papua. Sejak 2006 dana otsus harus dibagi antara Provinsi Papua dan Papua Barat. Dari Rp2,6T setiap tahunnya, dibagi untuk Papua dua pertiga dan Papua Barat sepertiganya. Itu pun harus dibagi antara Provinsi yang mendapatkan 40% dan kabupaten yang 60%nya. Jika kabupaten ada 29, berarti satu kabupaten mendapatkan sekitar Rp53 milyar sampai Rp 60 milyar tergantung besaran penduduk. Bila membangan jalan di pegunungan tengah membutuhkan Rp15 Milyar per kilometer jalan aspal, bisa dibayangkan berapa tahun prasarana jalan di Papua bisa dibangun dengan dana otsus. Hitungan kasarnya, ini memerlukan 100-150 tahun lebih!

Bagaimana pula dengan pembangunan kampung di Papua melalui dana RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) yang besarnya Rp 100 juta pertahun per kampung? Respek yang digabung dengan PNPM Mandiri dari pemerintah pusat ini tidak jarang hanya menjadi proyek bagi-bagi duit di kampung-kampung. Belum lagi ada dugaan bahwa dana Respek dan dana otsus disunat untuk membayar hutang atau berfoya-foya pejabat-pejabat pemerintah di tanah Papua.

Membangun Papua dengan Hati bukan semudah yang diucapkan Presiden SBY. Tanpa adanya keseriusan, yang terjadi adalah tetap bertahannya kecurigaan pemerintah pusat kepada pemerintah dan rakyat Papua. Seandainya Garuda dan Maleo mau memahami Manguni, Mambruk dan Cendrawasih, irama pembangunan papua lebih enak didengar.

Dengarlah Suara Hati Orang Papua

Di antara persoalan besar yang ada di Papua di antaranya berkisar pada persoalan pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur di tanah Papua. Mari kita dengar kisah di bawah ini. “Kitorang (kami) butuh guru dan tenaga kesehatan, Kitorang tara (kami tidak) butuh Tentara dan Polisi. Daerah ini aman-aman saja. Kalau bapa ibu guru silakan masuk, tentara atau polisi tidak boleh masuk!” Kalimat itu dilontarkan oleh sekelompok orang yang melakukan pencegatan terhadap rombongan para guru yang baru saja direkrut oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Puncak Jaya untuk ditempatkan di sekolah-sekolah di pedalaman Puncak Jaya.

Jika kita telaah kalimat di atas, tampak jelas bahwa bagi rakyat Papua yang kritis atau tidak percaya kepada pemerintah pusat, mereka merasa kehidupan mereka tak perlu diganggu oleh kehadiran aparat keamanan.  Sejak dulu orang Papua merasa terganggu oleh kehadiran aparat keamanan yang membunuhi orang Papua atau membakar kampung-kampung di Papua saat mereka mencari para pendukung atau anggota OPM. Dalam bahasa rakyat biasa, perlakuan aparat ibarat “Mengganggu ketenangan hidup” yang dalam bahasa Pidgin di PNG dikenal dengan kalimat “Bagarapim sindaun” (mengganggu orang yang sedang duduk enak-enak). Rakyat Papua di mana pun mereka berada, butuh pelayanan kesehatan yang baik dari pemerintah dan juga tersedianya guru-guru yang benar-benar berdedikasi untuk kemajuan anak-anak Papua dan adanya kesempatan yang baik bagi mama-mama Papua untuk berdagang atau berusaha.

Kita melihat bagaimana semakin hari semakin sedikit guru-guru dari  Tanah Toraja, Kei, Minahasa atau tanah Jawa yang mau bertugas di daerah-daerah terpencil di tanah Papua. Ini karena nasib mereka sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah. Ini karena insentif untuk mengajar di daerah-daerah yang sunyi dari keramaian itu memang amatlah kecil. Tidaklah mengherankan jika pemerintah daerah di Papua berupaya keras memberi insentif yang memadai antara Rp 5 juta sampai Rp 15 juta per bulan agar mereka mau mengajar di daerah terpencil. Dilihat dari masalah keamanan, dalam sejarah Papua, sangat kecil kejadian di mana ada guru atau tenaga kesehatan yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang Papua, bahkan dari anggota OPM sekalipun.

Bila kita teliti lebih lanjut, persoalan Papua dari sisi sosial, ekonomi dan budaya, memang bertumpu pada tiga hal pokok: Pendidikan, Kesehatan, dan sektor ekonomi rakyat. Dari tiga hal itu saja tampak jelas betapa Indeks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat adalah yang terendah di Indonesia, yaitu menduduki nomor buncit 32 untuk Provinsi Papua dan no 33 untuk Papua Barat.

Semakin hari semakin tertinggal mutu pendidikan anak-anak Papua di pedalaman. Semakin hari semakin banyak pula tenaga kesehatan yang meninggalkan puskesmas di pedalaman. Kalau pun ada tenaga kesehatan, obat-obatan pun sulit didapat. Dari segi ekonomi rakyat, bila kita masuk ke pasar-pasar tradisional di Papua dan Papua Barat, amat sulit menemukan adanya “Mama-mama Papua” yang berdagang di pasar. Mereka telah tersingkir ke pelataran pasar, toko atau di trotoar jalan. Apa yang dilakukan pemerintah kota Jayapura yang memberi tempat khusus sementara di seberang Hotel Yasmin, Jayapura, bagi “Mama-Mama Papua” untuk berdagang di malam hari, adalah contoh baik untuk membantu perekonomian rakyat kecil Papua.

Kurangnya perhatian pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian rakyat menyebabkan rasa frustasi yang berkepanjangan pada sebagian besar rakyat Papua. Jawaban atas frustasi itu bukanlah menembaki mereka yang berdemonstrasi atau mengadakan Kongres Rakyat Papua, melainkan bagaimana kondisi-kondisi sosial ekonomi itu semakin diperhatikan.

“Mari kita membangun Papua dengan hati,” dan “Tak ada Operasi Militer di Papua.” Dua penggalan kata itu diucapkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perkembangan politik di tanah Papua akhir-akhir ini. Kita hanya berharap agar apa yang diucapkan oleh Presiden Yudhoyono itu benar adanya dan akan dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat dan daerah, serta aparat keamanan di daerah.

Apa yang terjadi di sekitar Lapangan Bola Zakheus, Abepura pada 19 Oktober 2011 adalah suatu yang menyayat hati kita sebagai sesama anak bangsa Indonesia. Betapa tidak. Jika berupaya memahami dengan hati yang bersih, apa yang disuarakan oleh Kongres Rakyat Papua III yang berlangsung tiga hari 17-19 Oktober 2001 itu sebenarnya bukanlah suara kemerdekaan, melainkan mereka ingin agar suara hati orang-orang Papua didengar oleh pemerintah pusat.

Dari informasi yang penulis dapatkan, panitia sudah berupaya untuk mendapatkan gedung yang layak bagi pertemuan itu, yaitu meminjam gedung Gelanggang Olah Raga (GOR) di Jayapura dan Gedung Konvensi milik Universitas Cenderawasih di Abepura. Tapi, mereka tidak dibolehkan untuk menggunakan aset-aset negara bagi Kongres mereka. Karena itu mereka menggunakan lapangan bola yang dimiliki oleh Sekolah Katolik di Abepura yang letaknya hanya 1 kilometer dari Markas Zeni Tempur Angkatan Darat di Waena dan hanya 200 meter dari Markas Korem 172 Abepura.

Para aparat keamanan, Polisi dan TNI, tentunya sudah mengetahui apa yang akan disimpulkan oleh Kongres Rakyat Papua itu. Karena itu, mengapa mereka tidak berupaya untuk mendekati panitia secara baik-baik dan malah melakukan penyerangan ketika suara kemerdekaan mereka dengungkan. Pertanyaannya kemudian ialah, mengapa anak-anak Papua yang juga anak-anak Indonesia itu diperlakukan secara tidak wajar ketika mereka menghindari aparat keamanan dan melarikan diri ke daerah perbukitan di sekitar itu?

Kata “Merdeka” sebenarnya bukanlah harga mati. Mereka hanya ingin agar pemerintah pusat mendengarkan suara hati mereka yang merasa tidak ada perubahan mendasar pada nasib anak-anak Papua setelah 10 tahun Otonomi Khusus diberlakukan di Papua dan 6 tahun di Papua Barat. Apa yang mereka lontarkan di Abepura melalui “Seminar Damai di Tanah Papua 5-7 Juli 2011” dan “Kongres Rakyat Papua III pada 17-19 Oktober 2011” adalah “political gathering” atau kumpul-kumpul politik untuk mempersiapkan dialog yang lebih manusiawi antara Pemerintah Pusat di Jakarta dan Rakyat Papua. Mereka ingin agar pemerintah dan rakyat Papua duduk bersama membicarakan masa depan Papua. Jika bukan kemerdekaan yang mereka dapatkan, apa yang dapat diberikan oleh pemerintah pusat kepada rakyat Papua?

Mereka tahu pasti bahwa Otsus yang berjalan selama 10 tahun ini telah gagal memperbaiki kondisi pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rakyat di Papua. Mereka tahu ada yang tidak beres yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi di Papua dan Papua Barat serta kabupaten-kabupaten di Papua. Mereka juga telah sering mengadu kepada pemerintah pusat, tapi hingga detik ini pemerintah pusat tidak pernah melakukan evaluasi mendasar atas pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat.

Harapan Kepada UP4B

Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B) bukanlah hal yang baru, karena sudah dilontarkan oleh Presiden Yudhoyono pada 4 tahun yang lalu. Adanya Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yang dipimpin oleh Letjen (Purn) Bambang Dharmono adalah suatu yang baru.

Ada beberapa “Titipan Pesan” teman-teman di Papua kepada penulis agar disampaikan kepada mas Bambang Dharmono. Pertama, Unit ini harus mulai mengevaluasi apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah selama 10 tahun melalui dana otsus yang jumlahnya sudah mencapai hampir Rp 30 Triliun. Apakah dana otsus tersebut sudah benar-benar digunakan untuk pembangunan empat bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, perekonomian rakyat kecil dan infrastruktur jalan/jembatan. Jika sudah, bagaimana pemerintah daerah membagi uang yang dua pertiga untuk Provinsi Papua dan sepertiga untuk Papua Barat. Bagaimana juga uang yang diberikan kepada setiap Kabupaten yang jumlahnya antara Rp 53 miliar sampai Rp 60 miliar, penggunaannya untuk apa. Jika benar ada uang dana Otsus yang digunakan untuk membayar hutang atau untuk foya-foya para kepala daerah, pemerintah pusat tidak perlu takut untuk membawa para pelaku korupsi itu ke pengadilan tipikor.

Kedua, bagaimana pula penerapan Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek) di kampung-kampung Papua dan Papua Barat yang jumlahnya Rp 100 juta per kampung per tahun dari pemerintah Provinsi dan ada juga dana tambahan antara Rp 100 juta sampai Rp 200 juta pertahun dari pemerintah kabupaten, tergantung kemampuan kabupatennya. Apakah dana PNPM Mandiri yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk para instruktur pendamping sudah juga digunakan secara tepat guna.

Ketiga, membangun Papua harus sesuai dengan kebutuhan orang Papua. Karena itu jangan sampai Unit ini hanya berkantor di Jakarta, para pejabatnya dari pimpinan, deputi dan stafnya hanya duduk di Jakarta dan semua petugasnya adalah orang Jakarta. Orang-orang cerdas dan perancang Papua juga harus diikutsertakan agar orang Papua merasa pembangunan sesuai dengan kepentingan mereka bersama dan bukan kepentingan Jakarta semata. Berkaca dari Aceh yang kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) berkantor di Banda Aceh, Unit ini juga harus memiliki kantor di Jayapura dan atau Manokwari.

Keempat, mas Bambang Dharmono juga harus mengusulkan kepada pemerintah pusat agar membedakan mana yang diurus oleh pemerintah pusat dan mana yang diurus oleh pemerintah daerah, agar ada kejelasan mana dana APBD yang digunakan pemerintah Daerah dan mana anggaran khusus otsus untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat yang digunakan unit P4B. Ini untuk menghindari ketersinggungan pemerintah daerah yang seakan diintervensi oleh pusat dan agar penggunaan dana tepat guna.

Tanpa memperhatikan butir-butir tersebut, seberapa banyak pun dana otsus digelontorkan ke Papua, tak akan ada manfaatnya bagi rakyat Papua. Kita berharap, kali ini pemerintah pusat sungguh-sungguh ingin membangun Papua dan Papua Barat dengan hati, dan bukan mengharubirukan perasaan rakyat Papua yang merasa dimarjinalisasikan oleh pusat.

Apa yang ditulis Paskalis Kossay tentunya jauh lebih lengkap dari kata pengantar yang saya tulis. Bila orang Papua dan pemerintah membaca buku Paskalis ini, tentunya kita dapat menemukan saripati dari persoalan/akar konflik di Papua dan menemukan solusinya. Karya Paskalis tidaklah mengemukakan mitos, melainkan kenyataan yang ada di tanah Papua. Karena itu, buku ini amat berharga bukan saja untuk mengisi tambahan khasanah kepustakaan  mengenai Papua, tetapi juga untuk implementasi konkret jalan damai konflik di Papua.

Jakarta, 10 November 2011

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here