Judul : Luna : Kumpulan Puisi Erich Langobelen
Penulis : Erich Langobelen
Editor : B e r t o Tukan
Spesifikasi : 13 x 20 cm, xxiv + 75 halaman
Cetakan Pertama ,Juni 2015
ISBN : 978-602-72022-4-5
Penerbit : TOLLELEGI
Membukukan sebuah tulisan berupa sekumpulan puisi barangkali menjadi hasrat bagi banyak penulis bahkan juga yang telah senior yang berminat dan bertekun dalam dunia sastra. Tentu tidak setiap tulisan seperti puisi atau sesuatu yang seperti pusi layak untuk dibukukan hingga menjadi karya yang bermutu dan menarik untuk dibaca banyak orang.
Sehubungan dengan itu “Luna” adalah buku pertama Erich Langobelen – pastinya tidak berhenti di sini – yang memuat puisipuisinya sepanjang tahun 2013-2014. Ini adalah karya-karya awal Erich Langobelen ketika saya mulai mengenal dan mencoba lebih serius bergelut dalam dunia puisi. Adapun di antaranya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti: Pos Kupang, Flores Pos, Jurnal Santarang , dan bunga rampai sastra WE HAVE A DREAM VOL. IV.
Sebuah terobosan yang nekat, memang. Tapi apalah arti sebuah perjalanan jika tak dimulai dengan sebuah langkah pertama. Erich Langobelen percaya bahwa sebuah karya besar tidak vi Luna : Kumpulan Puisi Erich Langobelen mungkin sekali jadi. Sebab sesungguhnya penerbitan “Luna” ini merupakan langkah awal, di mana dia merasa perlu untuk direkam, bukan hanya dalam ingatan atau catatan catatan lepas tapi juga sebagai sebuah buku yang akan selalu membawanya untuk selalu mengingat ke hulu, juga di mana dia bisa berbagi kepada yang lain apa yang pernah dia tulis.
“Luna” adalah jejak pertama dalam dunia kepenulisan Erich Langobelen.
===================
Namun dalam antologi ini, Erich sesungguhnya berhasil menjinakkan yang tak rutin dengan membuat sambungan antara imajinasi dan temporalitas, antara ‘kesunyian’nya sendiri dan keramaian sosial. Sebuah harapan pun barangkali sedang dititipkannya, bahwa di tengah keramaian sosial, menemukan kesunyian sendiri dan mencari sambungan yang tepat antara imajinasi dan temporalitas tak lain adalah cara untuk memilih tetap tunduk, patuh pada pilihan hidup yang telah diambil. *** (Charles Beraf, SVD)
Bagaimanakah caranya penyair menyelinap masuk ke dalam bahasa. Menghadapi situasi neurotic dalam sihir representasi bahasa, seperti seseorang yang berusaha menggenggam bayangannya sendiri. Sementara itu dirinya tetap bergelayut pada aku sebagai subyek yang menerima, mematuhi maupun keluar dari makna. Kedua posisi ini saling berhadap-hadapan, membuat penyair berada di pinggir tebing antara menyerahkan diri kepada sihir representasi bahasa atau berpegang kepada tubuhnya sendiri sebagai tubuh yang mengalami lalu-lintas eksternalisasi maupun internalisasi yang dialaminya. Erich Langobelen dalam puisinya, Keringat, menggunakan istilah mengintip. Istilah ini digunakan bukan untuk mengintip bahasa, melainkan untuk tubuh-yang-mengintip. Puisi Erich ini salah satu jejak yang bisa digunakan untuk melihat bagaimana penyair menempatkan posisi tubuh dalam puisinya. Tetapi juga sekaligus memperlihatkan ideologi tubuh yang masih berlaku dalam sebagian masyarakat kita. (Afrizal Malna)